Chapter 5

53 6 1
                                    

heloo ketemu di next chapter. chapter ini masi di area flashback yaa. masih mengenang masa lalu. XD

oke, terimakasih buat vomment nya juga feedback nya. untuk chapter 5 ini sebenernya abal-abal juga, kurang ada ide. vomment and feedback for this chapter kalo ada yang ngeganjel.

see next chapter! :D

=================================================================================

28 Juli 2015 (Hari kedua MOS)

Pagi itu aku bisa mengatakan hari sungguh cerah. Jarum jam dinding pada kamarku yang hening masih setia untuk melakukan detikan. Aku menoleh, sedikit menengadahkan kepala ke atas untuk melihat apa yang berusaha alat penunjuk waktu tersebut perlihatkan.

Pukul enam.

Aku sudah selesai dengan segala perlengkapanku. Entahlah apa yang akan direncanakan senior-senior sialan padaku hari ini. Memang MOS hanya dilaksanakan dua hari dan untuk hari terakhir, seluruh peserta MOS diharuskan mengenakan seragam OSIS sewaktu SMP nya. Namun, masalah label nama samaran tetap harus dipakai, tidak lupa dengan tas karung yang juga akan menemaniku mendatangi SMA Pratama Muda. Ini sudah lebih baik dibanding kemarin.

Segera setelah merapikan seragam lamaku kembali yang sebenarnya sudah rapi, aku segera keluar kamar, menuju tangga menurun yang membawaku pada ruang makan. Masih sepi. Tidak ada bedanya dengan suasana saat berada di kamarku yang berpenghuni diriku seorang. Suara piring yang bergesekan dengan sesamanya membuyarkan asumsiku bahwa hanya ada diriku seorang pagi itu. Ibu. Ya, ternyata ada Ibu disana, menyiapkan sarapan roti selai strawberry tanpa suara khas ibu-ibu yang meneriaki anaknya untuk segera sarapan saat pagi-pagi begini.

Aku berjalan menuju meja makan, menduduki kursi yang ada dan jelas saja masih kosong. Empat kursi kosong dan telah kududuki salah satunya, menyisakan tiga kursi kosong. Sebenarnya otak ini masih berkecamuk berbagai macam pertanyaan tentang hal simple ini yang belum saja sempat kutanyakan. Entah sejak kapan pertanyaan ini muncul. Aku benar-benar tidak mengetahuinya dan menyadarinya.

Kami hanya bertiga. Mengapa kursi ini ada empat?

Pikiranku selalu berpikiran yang tidak-tidak.

Mana mungkin. Tidak ada siapa-siapa.

Kepalaku bergerak ke kiri dan kanan dengan gerakan yang cepat seakan kegiatan itu bisa menghilangkan pikiran yang terlalu konyol tadi. Pikiran yang bahkan seorang anak tunggal kesepian saja yang memikirkan hal-hal liar seperti itu. Itu terlalu aneh untuk dibicarakan. Tidak, disini, hanya ada diriku seorang.

Ah, mungkin memang satu meja makan sudah satu paket dengan empat kursi kan?

Mataku masih berpendar ke segala arah, mengamati sekeliling. Rumah ini benar-benar sepi. Aku bahkan menyadari, kalau bukan karena alaram yang telah kuatur sebelumnya, aku tidak akan bisa bangun sepagi tadi. Sesosok Ayah yang sedari tadi kucari belum juga muncul. Ah, mungkin masih bersiap-siapkah? Mungkin Ayah kesiangan.

"Ayah dimana?" Tanyaku sedikit canggung akibat kejadian kemarin yang membuat hatiku masih begitu perih dibuatnya.

Ibu masih menyiapkan sarapan selain roti dan selai strawberry andalannya. Sedari tadi ternyata dirinya disibukan oleh kegiatan membuat susu putih sebagai pelengkap roti selai yang sudah tersedia di tengah-tengah meja makan.

"Ayah pergi," mataku terbelalak kaget, "nanti berangkat Ibu antar."

Singkat, padat, jelas, namun cukup membuat mataku melotot kaget dengan sempurna.

WrongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang