Part 7

143 14 0
                                    

Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi sensei
Warning! Typo, OC, OOC, Dsb, Dst
.
.
.

Yuki membawa Aomine hingga ke depan kelas Aomine. Kuroko yang satu kelas dengan Aomine melihat kedatangan mereka dan menghampiri.
"Yuki-chan, Aomine-kun. Sedang apa kalian?" Tanya Kuroko.
Yuki menatap Kuroko, "Tidak ada, aku hanya mengantar Dai-nii." Ujar Yuki. "Dan, Tetsu-nii, tolong awasi Dai-nii agar dia tidak membolos dan membuat keributan." Lanjut Yuki.
"Kau tidak memiliki hak untuk mengaturku Yuki." Ujar Aomine galak.
"Tentu saja aku memiliki hak. Walaupun kau seorang aniki, kau tetap harus menuruti perkataan imouto-mu. Yah, itu kalau kau memang menganggapku adik." Ujar Yuki acuh tak acuh.
"Tentu saja kau itu adikku!" Sergah Aomine cepat.
"Kalau begitu dengarkan perkataanku dan jangan buat masalah." Ujar Yuki memberikan ultimatum.
Kuroko menatap Yuki dan Aomine bergantian, bingung, "Apa telah terjadi sesuatu?" Tanya Kuroko.
"Tidak ada. Aku kembali ke kelasku dulu." Ujar Yuki dan meninggalkan tempat itu.
Aomine mengacak rambutnya dan berdecak kesal.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Aomine-kun?" Tanya Kuroko dengan nada bicara terkesan dingin.
.
.
.
Duduk di bangku miliknya dengan tenang. Midorima memutar-mutar pena berwarna pink-yang merupakan lucky itemnya- dengan gelisah. Alis matanya tertekuk dengan sorotan mata tajam, beserta aura hitam di sekelilingnya. Membuat orang-orang takut untuk mendekatinya.
Graaakkk...
Suara pintu kelas terbuka, membuat para siswa segera kembali ke tempat duduk masing-masing. Imayoshi sensei memasuki kelas itu dengan senyum ramah seperti biasanya.
"Berdiri!" Seru ketua kelas.
"Beri salam!"
"Selamat pagi, sensei!" Seru para siswa.
"Hai', selamat pagi semua. Sekarang, kumpulkan tugas yang sensei berikan minggu lalu." Ujar Imayoshi.
Para siswa akhirnya berdiri dan mengumpulkan tugas mereka, begitupun Midorima.
"Lucky item milikmu hari ini cukup manis Midorima-san." Ujar Imayoshi saat giliran Midorima yang mengumpulkan tugas.
Midorima menaikkan kaca matanya dan menatap sinis Imayoshi.
"Hmm? Ada apa Midorima-san?" Tanya Imayoshi yang menyadari tatapan siswanya itu.
Midorima diam, dan kemudian berbalik kembali ke bangkunya. Imayoshi mengerutkan alis bingung.
'Ada apa dengan anak itu?'
.
.
.
Kemarin, setelah ia meminta izin ke UKS. Midorima berjalan menyusuri koridor sekolah dan mendapati Imayoshi-sensei terburu-buru memasuki ruang musik. Mengerutkan alis heran, 'Bukankah sekarang jam pelajaran-nodayo? Dan lagi Imayoshi-sensei mengajar fisika, kenapa dia masuk ke ruang musik.' Pikir Midorima.
Tidak mau ambil pusing, Midorima kembali berjalan.
"Kalau begitu Yuki-hime tidak boleh tahu soal ini." Ujar Imayoshi.
Midorima berhenti melangkah saat mendengar nama adiknya di sebut. 'Yuki? Kenapa Imayoshi-sensei menyebut nama Yuki?' Pikir Midorima.
Ternyata, jendela kecil di sebelah pintu ruang musik tidak sepenuhnya tertutup. Ada sedikit celah yang membuat pembicaraan Imayoshi dapat di dengar oleh Midorima.
"Aku mengerti. Tapi, apa kalian yakin ingin kembali ke Jepang? Yuki bisa mengamuk kalau tahu kalian meninggalkan studi di sana hanya karena hal itu." Ujar Imayoshi.
".......!!!!"
Kemudian seperti terdengar suara bising di ponsel Imayoshi yang membuat Imayoshi sedikit menjauhkan ponsel itu dari telinganya.
"Baiklah, baiklah. Aku mengerti, kau tidak perlu berteriak begitu. Yuki-hime saat ini bersekolah di tempatku mengajar. Jadi kalian tenang saja, tidak akan ada yang bisa menyentuh Yuki-hime. Karena sekolah ini adalah teritorial milikku. Aku berani jamin itu." Ujar Imayoshi santai.
"....."
"Hai', akan kupastikan mereka tidak bertemu. Kalaupun mereka berani nekat menculik Yuki seperti dulu. Mereka pasti akan langsung menyesal. Ah, aku sudahi dulu ya. Aku masih harus mengajar." Ujar Imayoshi dan menutup telpon secara sepihak.
Midorima segera bersembunyi saat melihat Imayoshi membalikkan badan dan berjalan menuju pintu. Imayoshi keluar dari ruangan itu dan berjalan kembali ke kelasnya untuk mengajar.
Midorima yang bersembunyi di balik tembok mengerutkan alis. Mencoba mencerna apa yang baru saja di dengarnya.
.
.
.
Bel istirahat siang sudah berbunyi sekitar dua menit yang lalu. Kuroko berdiri di depan kelas 2-1. Ia berdiri di ambang pintu dan melihat ke dalam kelas. Mencari gadis berkacamata tebal yang saat ini sedang fokus dengan buku pelajaran miliknya.
Kuroko tersenyum tipis. Ia berjalan mendekati Yuki dan berdiri di samping mejanya.
Menyadari keberadaan Kuroko, Yuki menutup buku pelajaran miliknya dan menatap Kuroko.
"Mau makan siang bersama?" Tanya Yuki.
"Kau bisa membaca fikiranku." Ujar Kuroko.
"Hanya menebak." Ujar Yuki santai dan berdiri dari kursinya.
.
.
.
Di atap sekolah, Yuki menatap langit cerah di atas kepalanya. Ia mengunyah roti kari miliknya dalam diam.
"Yuki-chan, boleh aku bertanya?" Ujar Kuroko.
"Hmm?" Gumam Yuki, masih menatap langit.
"Tadi pagi, kata Aomine-kun kau di bully lagi. Apa itu benar?" Tanya Kuroko.
Yuki melirik Kuroko dari sudut matanya. Ia menunduk dan menghela nafas.
"Sudah kukatakan pada Dai-nii. Aku tidak di bully, dia hanya salah paham." Ujar Yuki.
Kuroko menatapnya dalam diam.
"Tadi pagi, aku tidak sengaja membuat siswa itu menjatuhkan kertas tugas yang di bawanya. Dan aku mencoba menolong dengan memungut kertas-kertas itu." Jelas Yuki. "Dan saat aku melakukannya, siswa itu melarangku. Dan menarik tanganku hingga kertas-kertas itu kembali berserakan. Dia takut kalau nanti Sei-nii akan menghukumnya seperti siswi-siswi yang kemarin." Lanjut Yuki.
Kuroko mengangguk paham.
"Dan Aomine-kun datang saat siswa itu menarik tanganmu. Tidak heran kalau ia salah paham." Ujar Kuroko.
"Tetsu-nii benar." Ujar Yuki.
'Tapi aku masih penasaran dengan siapa yang mendorongku.' Pikir Yuki.
"Jadi, kau sudah dengarkan? Aomine-kun?" Tanya Kuroko.
Yuki menatapnya bingung.
Aomine membuka pintu. Rupanya, Aomine mendengar semua pembicaraan mereka dari tadi.
Aomine berjalan menghampiri mereka sambil mengelus tengkuknya.
"Yah, aku dengar semuanya." Ujar Aomine.
Ia melirik Yuki, "Maaf, karena sudah membuatmu tidak nyaman tadi pagi. Apa...kau masih marah?" Tanya Aomine ragu.
Yuki menatap Aomine lama dan memberikannya isyarat untuk mendekat. Aomine menurut, ia berjalan mendekati mereka dan duduk tepat di depan Yuki. Yuki mengelus kepala Aomine pelan.
"Aku tidak marah, hanya kesal." Ujar Yuki. "Lain kali, berpikir dulu sebelum bertindak. Atau kau hanya akan menyakiti orang lain, Dai-nii." Lanjutnya.
Aomine terdiam, dan kemudia tersenyum.
"Ya, untuk selanjutnya, akan kuusahakan." Ujar Aomine.
Yuki tersenyum tipis, begitupun Kuroko.
"Tapi, kupikir kau akan mengatakan. 'Yang boleh menasihati aku hanyalah aku' Aomine-kun." Ujar Kuroko dengan tampang datar.
Yuki menaikkan sebelah alisnya, "Hee? Apa itu?" Tanya Yuki.
"Oi! Apa maksudmu Kuroko!" Protes Aomine.
"Itu semacam trade mark milik Aomine-kun, Yuki. Karena ia selalu mengatakan 'Yang bisa mengalahkan aku hanyalah aku'.", ujar Kuroko tanpa memperdulikan Aomine dan meminum milkshakenya.
"Hah? Ya ampun, itu kata-kata yang memalukan, Dai-nii." Ujar Yuki sambil menatap Aomine aneh. "Apa itu artinya yang bisa menikahi dirimu hanya kau?" Tanya Yuki.
"Ukh! Uhuk! Uhuk!" Kaget Kuroko.
Ia hampir saja menyemburkan milkshake miliknya karena perkataan Yuki.
"Ap..apa!? Yang benar saja! Itu mustahil!" Teriak Aomine dengan wajah memerah malu.
"Hee? Tapi benar bukan?" Tanya Yuki dengan nada yang dibuat polos.
Tubuh Koroko bergetar menahan tawa.
"Oi, Kuroko! Aku tahu kau ingin tertawa! Hentikan itu atau kubunuh kau!" Teriak Aomine.
Dan makan siang hari itu di liputi oleh teriakan Aomine, tawa Kuroko dan senyuman jahil Yuki.
.
.
.
Kise Amane menatap berkas-berkas laporan di depannya tanpa minat. Alisnya berkerut dan aura hitam mengelilinginya. Pikirannya kembali mengambang ke beberapa jam yang lalu. Saat ia menghadiri pertemuan yang di hadiri oleh enam orang teman lamanya.
.
.
.
"Apa yang kau katakan? Kau bercanda kan, Jun-chan?" Tanya Amane.
Junichurou tersenyum, "Aku tidak bercanda, Alex mengaku sebagai ibunya dan dia membawa Yuki masuk ke dalam keluarga Akashi. Dan sepertinya anak-anak kita merasa senang karena mendapatkan adik baru." Ujar Junichirou.
"Oi, Akashi. Bagaimana mungkin kau mengijinkan Alex melakukan hal itu? Bagaimana kalau dia mencelakai Yuki?" Tanya Aomine Reiji.
"Kau tenang saja, Alex tidak akan menyakiti anak itu." Ujar Junichirou.
"Bagaimana mungkin kau bisa seyakin itu? Apa kau sudah lupa dengan yang terjadi tiga belas tahun lalu?" Ujar Kuroko Seiya.
"Benar apa yang di katakan Seiya. Bagaimana kalau sampai mental Alex mendadak tidak stabil? Walaupun ia sudah ku periksa dan kunyatakan sembuh. Tapi tetap ada kemungkinan penyakit mental disorder miliknya bangkit kembali." Ujar Midorima Koutarou.
"Akashi-sama, tolong pikirkan lagi. Bagaimanapun juga, Yuki adalah harta terakhir yang "Dia" titipkan kepada kita. Tidak bisakah anda melakukan sesuatu?" Ujar Murasakibara Asami.
Junichirou menutup matanya, 'Sudah kukira akan begini jadinya.' Pikir Junichirou.
Ia membuka mata dan menatap tajam kelima sahabatnya.
"Apabila terjadi sesuatu kepada Yuki. Aku akan bertanggung jawab penuh. Walaupun itu artinya aku harus mengorbankan nyawaku." Ujar Junichirou.
"Apa maksudmu, Jun-chan? Kau tidak harus melakukan hal itu." Ujar Amane.
"Aku harus melakukannya. Karena, bagaimanapun juga aku ingin memberikan kesempatan kepada Alex untuk menebus dosa masa lalunya." Ujar Junichirou.
"Walaupun itu artinya dengan mengorbankan Yuki?" Ujar Seiya, menatap tajam Junichirou.
"Aku tidak mengorbankan Yuki, aku hanya..."
"Apa kau sudah lupa!? Yang membunuh ibu Yuki adalah Alex!" Murka Seiya.
Semua yang ada di ruangan itu terdiam. Teringat akan kejadian tiga belas tahun lalu.
.
.
.
"Kau...apa...yang sudah kau lakukan..." ujar Amane lemas, airmata perlahan mengalir membasahi pipinya.
Alex hanya diam di tengah ruangan itu, ia memeluk kakinya dan terus menatap seseorang yang di basahi cairan merah kental terduduk di kursi beludru di hadapannya.
Terdengar suara bantingan pintu dan derap kaki memasuki rumah itu.
"Amane!" Terdengar teriakan Asami.
Asami segera menghampiri Amane yang terduduk di ambang pintu. Dan saat ia melihat kemana pandangan Amane, ia merasa sesuatu akan keluar dari kerongkongannya.
"Ya tuhan..." ujar Midorima tidak percaya.
Ruang keluarga kecil itu sangat berantakan. Vas bunga pecah, meja yang terbalik dan darah berceceran di lantai.
"Tidak.." gumam Seiya.
"Mustahil, ini...ini mimpi..ya..ini pasti mimpi.."ujarnya dan berjalan menghampiri mayat itu.
"He..hei." ujar Seiya. "Hei, bangunlah. Kau..kau sedang bercanda bukan?"
Seiya menyentuh pipi mayat itu.
Koutarou berjalan menghampiri Seiya.
"Seiya, dia...sudah tiada." Ujar Koutarou dengan prihatin.
"Tidak..dia..dia hanya sedang bercanda dengan kita. Dia akan bangun." Ujar Seiya. "Hei, bangulah. Dan katakan kalau kau sedang bercanda. Kau sudah membuat kami sangat terkejut. Kau sangat hebat kali ini. Lihat, Amane sampai menangis, dan juga lihat, Asami sampai menahan tangisannya. Ayo, bangunlah." Ujar Seiya lembut. Akan tetapi, tidak ada respon sama sekali dari lawan bicaranya.
Reiji berjalan mendekati Seiya. "Seiya, hentikan. Ia sudah tiada."
Sinar mata Seiya mulai meredup, sedetik kemudian sinar mata itu berubah menjadi amarah. Dengan cepat, Seiya mengambil pecahan vas di lantai dan menyerang Alex yang masih duduk mematung.
"Kyaaa!!!"
"Seiya! Hentikan dia!"
Teriakan Amane dan perintah Akashi kembali membawa suasana mencekam di ruangan itu.
Dengan sigap, sebelum Seiya sempat melukai Alex. Reiji menangkap sebelah tangan Seiya dan Koutarou menahan tubuh Seiya menjauhi Alex.
"Lepaskan! Apa yang kalian lakukan! Aku harus membunuhnya!" Teriak Seiya murka.
Junichirou menghampiri Alex dan berdiri di depannya untuk menghalangi Seiya.
"Hentikan! Seiya! Kau tidak dapat merubah apapun dengan membunuhnya!" Ujarnya.
"Dia sudah membunuh Yue! Di harus mati!"
"Hentikan Seiya! Kau bisa di penjara!" Peringat Reiji.
"Aku tidak perduli! Lepaskan aku Aomine!"
"Hentikan!!!" Teriak Amane. "Hentikan! Kumohon! Yue tidak akan senang melihatmu seperti ini Seiya!"
Seiya membatu, semua pergerakannya terhenti. Kakinya terasa lemas dan akhirnya ia ambruk. Seiya menangis, menangis sekeras yang ia bisa. Semua temannya hanya bisa melihatnya sambil menahan airmata.
Junichirou melirik Alex yang duduk di belakangnya, ia berbalik dan setengah berlutut di depan Alex. Ia menatap Alex dengan amarah terpancar di matanya.
.
.
.
"Aku mengerti perasaanmu Seiya, bagaimanapun Yue adalah orang yang sangat berarti bagi kita." Ujar Junichirou. "Dan aku tidak akan pernah membiarkan Yuki mengalami nasib yang sama seperti ibunya." Lanjutnya dengan tatapan tajam.
"Aku tetap tidak menyetujuinya, bagaimanapun, terlalu berbahaya membiarkan Alex berada di dekat Yuki." Ujar Amane.
"Kalau sampai terjadi sesuatu lagi, aku yang akan menembak kepalamu kali ini. Setelah itu, akan kulubangi kepala Alex." Ujar Reiji.
"Kau boleh melakukannya." Ujar Junichirou menyetujui.
"Kami tidak main-main, Junichirou. Aku tidak mau kalau harus mengautopsi seseorang yang kukenal untuk kedua kalinya." Ujar Koutarou.
"Aku juga tidak main-main. Kalian boleh memenggal kepalaku dan memajangnya kalau perlu." Ujar Junichirou.
"Akashi-sama!" Asami memperingatkan.
"Kau tidak perlu cemas Asami. Ini adalah konsekuensi yang harus ku terima. Aku akan bertanggung jawab dengan kata-kataku." Ujar Junichirou.
.
.
.
Memijat kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Amane menatap bingkai foto di atas mejanya dan mengambil bingkai itu.
"Hei, Yue. Apa yang harus kulakukan sekarang?"
.
.
.
TBC

Me & My BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang