i. bertemu camer

2.5K 234 26
                                    

Naruto bergerak gelisah di atas kasurnya. Kedua tangannya mencengkram erat bantal di bawah kepalanya. Sekilas, ia seperti wanita yang akan melahirkan. Atau gadis yang akan kehilangan kehormatannya. Atau orang "istimewa" yang mendapatkan petunjuk dalam mimpinya.

Tidak, bukan seperti itu.

Naruto masih kesal mengingat kejadian tempo hari. Saat musuh bebuyutannya, Uchiha Sasuke, secara langsung mengklaim dirinya sebagai pacarnya.

Sejujurnya, bukan itu yang benar-benar ia khawatirkan. Ia sudah cukup puas membuat si Uchiha mengerang kesakitan, meratapi "masa depan"nya.

Ia lebih khawatir setelah beberapa jam lalu menerima pesan dari Sasuke.
Si brengsek itu mengatakan akan ke rumahnya. Gila.

Ini memang malam minggu, malam penderitaan bagi para jomblo ngenes. Tapi apa Sasuke tidak tahu bagaimana tabiat ayahnya?

Gila, gila, gila, rapalnya dalam hati. Uchiha memang sinting. Tapi kok, pada ganteng ya.

.

.

.

Minato bukan seorang pejabat yang memiliki banyak saingan. Bukan penjahat yang menjadi buronan. Bukan pula artis kontroversial yang diburu wartawan. Apalagi pengemis yang selalu kejar-kejaran dengan petugas keamanan.

Bukan. Minato adalah pria biasa yang begitu mencintai keluarganya.

Minato hanya seorang dokter gizi. Dengan istrinya, Kushina, yang dulu menjadi asistennya.

Cerita klise yang begitu dipuja di kalangan remaja. Bertemu, bertengkar, bermusuhan, tumbuh rasa cinta, menikah.

Lalu ditambah kehadiran bayi-bayi lucu yang menghangatkan suasana rumah.

Benar-benar keluarga harmoni.

Sampai saat itu tiba. Saat di mana Kushina dipanggil oleh Tuhan.

Saat itu adalah saat terburuk dari yang terburuk. Minato tidak pernah merasa sesedih itu. Tidak juga sepasrah itu. Untuk beberapa waktu, Minato uring-uringan mencari pelampiasaan.

Hanya waktu yang bisa mengobati rasa sakitnya. Setiap detik dalam hidupnya ia habiskan untuk mengenang sang istri. Mengingat bagaimana kebersamaan mereka. Mengenang sejarah cinta mereka. Walau telah menjadi abu dan sedikit mengabur.

Waktu juga yang menunjukkan betapa bodohnya ia karena menelantarkan ketiga anaknya. Bahkan anak bungsunya yang baru saja lahir. Dalam keputusasaan yang sama, Minato kembali dengan lelehan air mata.

Meski cahaya di matanya sempat redup, namuan kehadiran buah hatinya sudah sanggup mengobati penyakit hatinya.

Ia membesarkan ketiga anaknya dengan cinta yang tak pernah padam. Senyuman Kushina selalu menjadi penghibur di sela-sela bebannya. Ia berjanji, tawa Kurama, Naruto dan Menma akan menjadi santapannya tiap hari.

Minato tidak pernah mengekang anak-anaknya. Ia membebaskan mereka untuk memilih jalan hidup masing-masing. Kecuali jika itu aturan yang dibutuhkan untuk keselamatan masa depan mereka.

Ia juga tak pernah pilih kasih. Meski Minato harus mengakui bahwa ia sangat mencintai anak gadisnya. Ia juga meminta Naruto untuk tidak berpacaran sebelum lulus kuliah dan selekif dalam memilih pasangan atau teman lelaki. Dan sang anak selalu menuruti perkataannya.

Karena itu, mendapati seorang pemuda yang bertamu di rumahnya menjadi tanda tanya.

Awalnya ia biasa saja, karena berpikir itu adalah teman Kurama atau Menma. Dan tak pernah terbesit dalam benaknya bahwa pemuda itu adalah teman Naruto yang mengaku sebagai pacarnya.

Untuk sesaat, Minato hampir kena jantungan.

.

.

.

"Uchiha Sasuke?" ulang Minato setelah pemuda itu memperkenalkan diri. "Jadi kau... pacar anakku?"

"Ya," Sasuke mengangguk. "Lebih tepatnya Namikaze Naruto."

"Kau tidak bercanda?" tanya Minato dengan hati-hati. Ia memang mengenal Uchiha, tapi ia tak pernah melihat wujud Uchiha lain. Mungkin karena dirinya kurang update.

Kali ini Sasuke menggeleng. Wajahnya tampak tenang walaupun otaknya mengatakan akan ada hal buruk yang terjadi.

"Kau pasti bercanda."

Minato tetap keukeuh bahwa apa yang didengarnya hanya lelucon. Semacam lelucon yang selalu dilontarkan anak-anaknya di bulan April. Apa ya namanya?

"Saya tidak bercanda, Tuan. Saya benar-benar pacar putri Anda. Anda bisa bertanya sendiri pada yang bersangkutan."

Minato tak membalas. Ia sibuk berpikir sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi menemui anaknya.

Terhitung tiga langkah dari sofa yang tadi ia duduki, Minato sudah melihat anak gadisnya berjalan tergopoh-gopoh menuruni tangga. Mukanya agak pucat dan berkeringat seperti habis lari marathon.

"Papa?"

Gadis itu tidak bisa lebih terkejut lagi melihat Sasuke duduk di sofa rumahnya dengan seringaian mengejek.

"Sasuke?"

"Kau mengenal pemuda ini, Nak?" tanya Minato. Keningnya berkerut melihat sang putri yang tampak gugup itu. Pandangannya beralih pada Sasuke yang kini telah berdiri.

"Ya, tentu saja Naruto mengenal saya, Tuan. Saya satu sekolah dengannya."

Minato mengangguk paham. Melupakan fakta bahwa sebelumnya pemuda ini mengaku sebagai pacar putrinya.

Sasuke tersenyum dan menatap lekat Naruto. "Dan, aku juga sangat senang bisa bertemu camer."

Kening Minato kembali berkerut. "Apa itu camer?" Ada berapa sih, bahasa gaul remaja?

Naruto hanya tertawa hambar.

"Camer itu, Tuan," Sasuke semakin melebarkan senyumannya, yang di mata Naruto tampak begitu mengerikan, "Calon mertua."

"Oh. Ternyata disingkat, calon mertua jadi camer. Jadi maksudnya, aku itu calon mertua-- SI APA?!"

Kali ini, Minato yang tidak bisa lebih terkejut lagi mendengar ucapan Sasuke. Dan Naruto, sekali lagi tertawa hambar.

Sial.

.

.

.

Maaf ya pendek. Maaf juga kalau banyak typo.

Little GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang