Perhatian

157 5 2
                                    

Sekarang sudah jam 8 malam dan aku masih di kampus. Aku masih disibukkan dengan tugas yang diberikan Erick. Aku harus merapihkan goodie bag untuk seminar. Seharusnya tadi siang. Tapi karena jalanan ibukota sangat padat, temanku yang membawanya datang sesudah maghrib.

Dari kecil aku sering sakit. Tidak heran kalau aku mencium aroma yang tidak sedap bisa jatuh pingsan seperti kemarin. Operasi yang aku katakan waktu itu, operasi usus buntu. Sebelumnya ususku juga bermasalah. Aku tidak mau sakit itu datang lagi kepadaku. Aku harus sehat!

Akhirnya merapihkan 300 goodie bag selesai. Sekarang aku mau pulang. Rencananya aku ingin nebeng dengan Erick. Tak disangka Arief datang. Dia menyuruhku untuk pulang bersamanya. Oiya, kitakan sedang bersandiwara. Aku pun pulang bersama Arief.

Tunggu...

Ini kan sudah jam sembilan. Kenapa Arief masih ada dikampus? Atau jangan-jangan dia menungguku di kampus? Kok bisa......?

Baru setengah jalan, perutku sakit. Maagku kambuh. Aku belum makan malam. Tamatlah riwayatku. Tidak mungkin kan aku meminta Arief untuk beli makan. Aku harus tahan meskipun rasanya sakit sekali. Tahan Sierra! Tahan!

Tetapi nihil. Arief mengetahuinya. Ah bisa diejek lagi. Ayolah mobil cepat sampai!!

"Kenapa megangin perut?," Kata Arief.

"Gapapa," Jawab gue dengan nada lirih.

"Yakin gapapa?,"

"Iya," Kata gue.

"Kalo gapapa kok suaranya lemes gitu? Lo sakit? Bilang ke gue, Ser,"

"Maag gue kambuh,"

"Lo belom makan?,"

"Belom,"

"Bawa obat?,"

"Enggak, di kos,"

"Sampe kos minum obatnya!,"

"Iya,"

Aku heran, mengapa Arief sangat peduli denganku? Padahal kami hanya berpura-pura pacaran. Ah membuatku makin sakit. Sampai di kos, Arief mengikutiku sampai kamar. Dia sudah minta izin ibu kos. Katanya mau menjagaku. Bisa aja ya. Ibu kos juga percaya aja lagi.

Entah apa yang dia lakukan sampai sekarang sudah jam sebelas. Aku menyuruhnya pulang tapi tetap saja dia tidak mau. Mungkin karena khawatir. Tapi dia rela tidur di sofa depan kamarku. Ya ampun, Arief.

"Lo gak pulang?,"

"Udah mendingan?,"

"Udah kok, pulang aja,"

"Gak ah,"

"Kenapa?,"

"Daripada nanti sakit lagi, sekalian numpang wifi hehe,"

"Yaudah, gue mau tidur ya,"

"Iya,"

...

Saat aku terbangun, Arief sudah tidak ada. Dimana dia? Apa sudah pulang? Kenapa gak bilang-bilang? Aku kan jadi khawatir dia dimana. Eh kok aku jadi khawatir begini? Dan akhirnya aku menelfon Arief. Sampai lima kali aku menelfon tapi tetap tak ada jawaban. Sekarang aku harus pergi ke kampus untuk gladi resik.

Di kampus sudah ada banyak orang. Padahal Erick bilang jam sepuluh, namun jam sembilan sudah ramai. Ini baru perubahan haha. Hpku kemudian bergetar. Nah ini Arief!

"Halo?," sapaku.

"Salam dulu, neng,"

"Assalamualaikum, sayang," kataku agak manja. Haha.

"Waalaikumssalam, eh kok pake sayang?,"

"Kan kita pacaran," kataku ngeledek. "Disini lagi rame Sierranatic,"

"Masa sih?,"

"Yaudah deh,"

"Jangan marah dong, maaf ya sayang,"

"Kenapa jadi ikutan ngomong sayang?," kata gue heran.

"Lagi rame juga," kata dia ngeledek. "Boong deh, mau ngomong apa?,"

"Loh kan lo yang nelfon gue,"

"Oiya, eh tapikan lo yang missed call gue,"

"Lo tadi kemana udah ilang aja?,"

"Gue pulang jam dua, takut ganggu lo, eh terus gue bilang ke satpamnya 'Pak, jagain Sierra ya' gitu,"

"Tumben,"

"Eh udah ya gue mau mandi,"

Senior In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang