Malam sudah tiba, Devi baru pulang dari kencannya. Dia ke kamarku katanya dia bosan dan ingin bercerita. Aku yang sedari tadi lebih banyak termenung diatas kasur rupanya diketahui oleh Devi. Mataku merah, badanku panas, tubuhku menggigil. Beginilah aku kalau sedang galau.
"Sierra lo kenapa?," Tanya Devi yang seperti orang panik.
"Arief, Dev! ARIEF!!!!!," Kataku lalu menangis histeris. Ya sangat alay bukan?
"Kenapa?,"
"Gue tadi dengerin dia ngomong sama Famela. Katanya gue bukan pacarnya blablabla bikin gue sakit hati,"
"Bukannya Arief bener? Kan biar Famela gak tau?,"
"Tapi gue sakit hati banget, serius,"
"Yaudah sekarang lo maunya gimana sama Arief? Udahan aja pura-puranya?,"
"Iya," kataku sambil menghapus air mata.
"Jangan nangis lagi," Kata Devi sambil menghapus air mataku.
Kemudian Devi kembali ke kamarnya. Aku tidur dikamarku. Berharap semoga masalah ini hilang. Karena setauku tidur bisa menghilangkan masalah walau hanya sementara.
---
Pagi-pagi aku menuju kampus dengan menyetir mobilku. Aku harus bisa terlihat biasa saja hari ini. Seolah tidak ada masalah datang di hidupku. Tak lama kemudian aku sampai kampus. Kulihat mobil Arief terparkir di sana. Aku tak peduli lagi.
Aku bingung dengan diriku sendiri. Kemarin ku katakan jangan sampai Famela tau kami hanya pura-pura pacaran. Tapi setelah Arief mengatakan yang seharusnya dia katakan, aku sakit hati. Mengapa cinta itu rumit?
Aku berjalan menuju kelasku di gedung b. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari belakang.
"SIERRA!," Katanya begitu. Aku menoleh ke belakang. Itu Arief. Aku balik badan, menanggapinya. "Aku tau aku salah, maafin aku ya?,"
"Rief, maafin gue. Gue bukannya gamau maafin lu. Tapi gue udah terlanjur sakit hati. Gue mau nenangin diri gue dulu. Gue gamau sakit, Rief. Gue sayang beneran sama lu." Batinku.
"Aku lagi sibuk,"
"Gitu kamu sama aku?," Katanya, lalu aku cuekin.
---
Hari-hari berikutnya aku lewati seperti biasa lagi. Tanpa Arief lebih tepatnya. Aku merasa ada yang kurang disaat aku menjalani hidup seperti dulu lagi. Hhhh.
Hari ini hari Minggu. Aku memilih untuk santai di kostan. Hari libur adalah hari dimana aku berkreasi. Lebih tepatnya berkreasi dalam hal makanan. Sudah tiga hari aku ingin makan sup. Karena kemarin kuliahku sangat padat jadi aku selalu membeli makanan dari luar dan tidak jadi memasak sup.
Aku menyiapkan segala macam perlengkapan seadanya. Ya aku inikan anak kost. Harap maklum saja. Kemudian aku ambil piring kaca yang ada di rak piring. Tanpa ku sadari aku terpleset karena lantainya licin. Piringnya pecah dan menusuk perutku. Sakit. Itulah yang aku rasakan. Darah sudah mengucur deras. Aku hanya berharap ada seseorang yang cepat menolongku. Karena aku sudah lemah tak berdaya.
...
Aku terbangun dari tidur panjangku. Ternyata aku koma dua hari. Dan ternyata lagi, Devi yang menolongku. Dia memang sahabat terbaikku. Hanya karena pecahan piring itu, aku koma dua hari. Ya bagaimana tidak, sepertinya pecahan itu menancap cukup dalam. Kondisi fisikku juga lemah. Mungkin obatnya merespon lambat. Yang patut aku syukuri saat ini aku sudah terbangun dari komaku.
Aku lihat ada mama, papa, abangku, Devi, dan juga Arief saat aku dipindahkan ke kamar rawat inap. Suster memindahkanku ke kamar vvip. Kata mama supaya aku nyaman. Ya sangat nyaman tentunya.
Setelah aku dipindahkan, yang pertama masuk adalah Arief. Yang lainnya ada di luar. Mau apa lagi dia?
"Sierra....," Katanya sambil meraih tanganku. Aku yang masih menggunakan masker oksigen dan ada selang dimulutku hanya bisa menatapnya dalam.
"Aku tau aku salah," Sepertinya dia akan menangis. "Tapi bisa kan, Ser, kamu maafin aku,"
Aku terdiam. Tak bisa berbicara. Bukannya tak bisa. Tapi sulit karena ada selang dimulutku. Aku kembali meneteskan air mata. Kemudian Arief menghapusnya.
"Yaudah gapapa. Aku pulang ya? Get well soon, mine,"
Kemudian Arief keluar kamar. Aku meneteskan air mataku kembali. Tapi segeralah ku hapus.
---
Pagi itu keadaanku sudah mulai pulih. Aku sudah bisa duduk, makan, dan tentunya meminum air putih dengan gelas. Sejak selang makananku di lepas, aku hanya bisa minum satu sendok.
Aku tak melihat Arief sejak hari itu. Dia tak datang mengunjungiku lagi. Sepertinya aku menyesal karena tidak memaafkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senior In Love
Teen FictionArief dan Sierra berpura-pura pacaran demi menghindari orang-orang yang mengejar mereka. Apakah sandiwaranya terus berlanjut?