Selesai kelas aku dan Devi duduk di koridor. Aku bercerita tentang perasaanku dengan Arief saat ini. Berharap Devi juga turut bahagia dengan ceritaku.
"Dev lu tau gak sih, kan waktu seminar mantan gue dateng. Gue ditampar sama dia terus Arief dateng nolongin. Malahan dia ngehajar tu orang,"
"Serius? Gila Arief keren juga,"
"Terus gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba dia meluk gue, terus dia bilang 'lo gapapa kan?' Gitugitu. Baper ni gue asli,"
"Padahal lu kan pacar pura-puranya doang hahaha,"
"Iya gue heran. Kemistri diantara kita tuh dapet banget! Gue ngerasa kayaknya Arief anggap ini udah bukan sandiwara lagi,"
"Mungkin, semoga kalian cepet resmi ya,"
"Hahahaha,"
Dan tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Aku ada kelas lagi. Hanya satu jam kali ini. Kemudian Bu Asri masuk ruangan. Kali ini praktek lagi. Tapi sulit. Bayangkan saja kami diajarkan untuk menuliskan sebuah cerita yang bisa membuat pembaca terjun ke dalam cerita tersebut. Ini sebetulnya mata kuliah apa ya.
Sekarang waktunya pulang. Aku dan Devi terpisah di parkiran. Devi diajak Erick pergi. Yasudah aku pulang sendiri saja. Saat aku menuju mobilku, aku melihat Arief seperti sedang berdiri disamping mobilnya. Bergegaslah aku menuju Arief. Tapi sayang, Famela lebih dulu. Aku berhenti melangkah dan mendengarkan percakapan mereka.
"Arief, gue boleh tanya gak?," kata Famela centil.
"Apa?,"
"Lu sama Sierra gak beneran pacaran kan?,"
"Hah?,"
"Ih jawab!,"
"Iyalah, gamungkin kan gue pacaran sama Sierra. Anak yang sok berprestasi kayak dia susah diajak romantis," kata Arief.
Aku langsung memunculkan mukaku di depan kedua orang itu. Sakit rasanya. Sebetulnya bagus karena Arief mengatakan bahwa kami tidak benar-benar pacaran. Tapi ada rasa yang tidak enak mengganjal dihatiku.
"Rief... hari ini gue gak bareng lo ya," kataku sambil menahan air mata.
"Oh iya, baguslah,"
"Hah?,"
"Ya.. bagus. Gue bisa nebeng," kata Famela.
"Ya.. ya.. yaudah gue duluan,"
Sakit, Rief. Sakit. Kamu bilang apa tadi? Bagus? Andaikan kamu tau isi hatiku yang sebenarnya. Aku ingin sama kamu terus. Tapi aku benar-benar tidak tahan. Lebih baik kita udahan aja, Rief.
Aku masuk ke dalam mobilku, langsung ku tancap gas menuju kostku. Lalu aku membanting tubuhku diatas kasur kamar. Aku menangis sejadi-jadinya. Merobek fotoku dan Arief yang diam-diam aku cetak. Saat ini aku benar-benar galau. Harusnya aku tenang karena Famela tau bahwa aku bukan pacarnya Arief. Tapi... ah sudahlah.
Hpku sedari tadi bergetar. Arief menelfonku, dan mengirimkan ku sms berkali-kali. Aku membuka sms tersebut. Terharu aku membacanya, namun hatiku tetap tak ingin bersamanya lagi.
Begini katanya:
Sierra sayang
Maafin aku tadi
Aku cuma gamau tadi kamu ketauan sama Famela
Maafin aku
Aku bener-bener minta maaf kalo emang tadi aku salah
Aku gamau bikin kamu marah
Please angkat telfonnya sekali aja
Sayang
Aku sayang kamu
Aku gamau kehilangan kamu
Kamu punya aku
Ini gak pura-pura lagi
Please angkat telfonnya
SayangDan kemudian Arief menelfonku lagi. Aku angkat.
"Halo?,"
"Kenapa lagi?,"
"Aku minta maaf, Ser,"
"Gausah pake aku aku,"
"Biarin. Aku minta maaf, aku gaada maksud buat nyakitin kamu,"
"Telat. Gue udah benci duluan,"
"Yaudah, terserah kamu. Jangan nangis ya,"
"Ngapain gue nangis. Gak guna,"
Lalu telfonnya mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senior In Love
Teen FictionArief dan Sierra berpura-pura pacaran demi menghindari orang-orang yang mengejar mereka. Apakah sandiwaranya terus berlanjut?