R 21 - Terbiasa

2.2K 73 0
                                        

"Gue turun di sini aja deh." Kataku. Lalu keluar mobil tepat di depan gerbang rumah Ical. "Thanks." Cicitku. Gengsi.

"Ehh tunggu!" Ical memanggilku. tapi apa peduliku. Aku hanya ingin cepat masuk kamar. Mandi dan mendinginkan fikiranku yang mulai kacau.

"Assalamu'alaikum.." salamku pada mama.

"Waalaikumsalam," jawab beliau. Aku mencium tangan mama.

Aku memperhatikan wajah mama. Wajahnya begitu berseri dengan senyumannya yang amat sangat merekah di bibirnya saat melihatku. Dibalik senyumannya yang manis aku menangkap sesuatu yang janggal dan harus di luruskan.

"Mama kenapa ma? Senyum-senyum gitu?" Tanyaku to the point.

"Kemaren aja nggak mau disuruh pergi sama Ical. Sekarang aja pulang kuliah sama Ical hahaahaa," mama tertawa. Ternyata ini yang membuat mama tersenyum. Dia menertawakan aku. Sungguh tak berperikeanakkan mamaku ini.

"Ih, seneng banget mama. Ini juga terpaksa ya. Lagian kalo mama mau ngasih aku uang jajan juga aku nggak bakalan mau pulang sama Ical, deket-deket sama dia aja aku ogah mah." Kataku asal. Benar-benar asal. Aku tidak memikirkan dampak ucapanku itu. Dan yang pasti itu semua berbanding ke balik dengan hatiku ini.

"Ya kalo gitu setiap hari aja mama nggak usah kasih uang jajan kamu Za. Awas ati-ati lho kalo ngomong. Tuh liat ada nak Ical di belakang kamu." Kata mama dengan santai. Aku menutup mata. Geram melihat mama. Dan mrngutuk diriku sendiri bagaimana kalau ical mendengar kata-kara sadisku?

"Ini Za, tasnya gue taro di sini. Tante saya permisi. Assalamu'alaikum." Kata Ical. Dia berbalik.

"Doohh mama." Kataku langsung berbalik dan langsung berlari mengejar Ical.

"Ical tunggu, Ical tunggu, Ical!" Teriakku pada Ical. Lalu menghadangnya tepat di hadapannya kini aku terlihat sangat kerdil dengan tinggi sebatas dadanya.

"Kanapa lagi? Katanya lo nggak mau deket-deket gue?" Katanya. Nttahlah sorot matanya membuatku takut kehilangan Ical untuk yang kedua kalinya.

"Maaf. Gue minta maaf atas ucapan gue tadi." Kataku. Tanpa sadar aku sudah menyatukan tanganku di depan dada.

"Gue yang salah. Udah sana masuk." Katanya lagi sambil mengeluarkan senyum miringnya. Kali ini dia benar-benar pergi. Dan aku hanya bisa mengangkat bahu.

Saat aku mulai melewati ruang tamu aku berhenti dan mengambil tasku lalu membawanya ke dalam kelas.

"Maafin gue ya Ical. Gue mohon." ini suara mama.

Aku buru-buru membalikkan badan menatap mama tajam. Sementara mama hanya bisa tertawa. Sepertinya puas sekali menertawakan anaknya sendiri.

"Mama kalo misalnya Ical nggak mau nganterin Za lagi itu semua salah mama!" Kataku.

"Hahaahahaahha." Tawa mama makin menjadi-jadi.

"Mama nggak lucuuu! Mama nyebelinn.. liat aja ntar Za aduin ke papa." Kataku. Lalu pergi ke kamar. Meninggalkan mama yang masih menertawakanku.

***

Aku membuka tasku. Ternyata Ical memasukkan mukena baru yang di belikannya beberapa waktu lalu ke dalam tasku. Rupanya mukena itu kini benar-benar milikku. Aku mengambilnya. Lalu tersenyum begitu saja. Warna, bahan, dan motif mukena ini sangat memikat hatiku. Diam-diam jauh di dalam sana ada sebuah harapan.

***

Hari ini aku bagun lagi mendengar suara merdu disebrang sana yang dengan indahnya melantunkan ayat-ayat kitab suci. Selesainya si empu membaca kitab suci ntah kebetulan atau perhitungan dia yang sudah matang suara adzanpun berkumandang. Setelah suara adzan selesai. Aku bangun dan pergi ke kamar mandi. Mandi dengan riang, berwudhu lalu menghampiri lemari tempat aku menyimpan mukena dari Ical. Aku mengambil mukena tersebut lalu melaksanakan sholat subuh pertama tanpa di bangunkan mama.

Setelah sholat akupun lebih memilih mengambil ponsel dan mengaktifkan data seluler.

Berpuluh-puluh notif menghujani ponselku. Aku membuka pesan dari Mira dan Virra dari Line. Mereka berdua mengingatkanku untuk datang ke cafe yang sudah kami sepakati kemarin untuk melancarkan kejutan kami untuk Lissa. Aku menghela nafas kasar lalu mengacak rambutku asal. Gimana caranya agar aku bisa pergi?

Satu-satu jalan keluar adalah Ical. Aku tak mungkin mengajak Aris, aku sudah tidak sudi lagi mengajaknya. Kalau aku mengajak teman cowokku yang lain resikonya adalah dimodusin dan ujung-ujungnya minta pacaran apalagi kini seisi kampus tau kalau aku dan Aris sudah putus. Bukannya sok cantik namun itulah kenyataan yang terjadi. Kalau ngajak temen cewek takut ditinggal lagi kayak di mall kemarin. Aku tak mungin meminta Mira atau Virra untuk menjemputku karena arah rumah kami berbeda dan yang jelas mereka sedang ribet mempersiapkan kejutan. Nahkan hanya ical.

Tapi harus diletakkan dimana wajahku ini? Aku sudah berkali-kali merepotkannya. Tapi kalau tidak begitu aku tidak bisa datang ke acara ulangtahun Lissa. Tak apalah sekali lagi. Hanya sekali lagi merepotkan Ical. Tidak lagi. Aku mencari kontak Ical di bbm lalu mengiriminya pesan namun ternyata Ical sedang off, bagaimana sekarang?

Aku keluar kamar membuka balkon yang langsung bertepatan dengan kamar Ical. Pintunya tertutup. Aku harus melemparkan sesuatu. Aku tidak mungkin teriak-triak di pagi-pagi buta kan? Hey. Aku masih cukup waras untuk itu. Akupun melemparkan batu kerikil kecil yang ntah dari mana datangnya. Yang jelas ada di lantai.

TAK!

Tepat mengenai pintu Ical. Namun tanda-tanda Ical muncul belum ada. Akupun memutuskan untuk melempar lagi tapi saat aku melempar Ical keluar di waktu yang bersamaan. "Ical awaaas!" Teriakku.

Terlambat.

"Awww!" ringisnya.

"Sorry cal sorry nggak sengaja." Kataku.

"Kenapa?" Tanyanya.

"Anterin gue ke tempat ultahnya Lissa dong cal. Please. Gue udah janji bakalan dateng. Apa jadinya gue kalo nggak dateng Cal. Please please please lagian lo kan tau gue nggak dikasih duit ama nyokap. Huhuhu" aku mencoba mendramatisir keadaan.

"Jam berapa?" Tanyanya.

"Jam 7 malem." Kataku. Wah, gampang banget ngerayu Ical.

"Nggak bisa." Katanya.

"Ish! Jahat!" Kataku.

Aku kira dia akan mau mengantarkanku. Ternyata dia tidak mau. Tidak bisa itu bagiku sama saja artinya dengan tidak mau. Toh sama-sama tidak jadi mengantarkan. Dan apa si sebenernya yang lagi Ical kerjain sampe dia nggak mau nganterin aku? Emang ada ya yang lebih penting daripada aku? Sebel! Padahal dulu kan..

Stop it!

Akupun langsung masuk ke dalam kamar. Bodo amat. Harusnya tadi aku melempar batu itu dengan sekuat tenaga biar Ical benjol sekalian. Ish kesel. Gimana ini nasib aku?

Ponsel! Ponsel! Ponsel!

Aku tidak mau ambil resiko di terror Mira Dan Virra. Jadi aku putuskan untuk mematikan ponsel tersebut sampai ada keajaiban datang. Semoga saja ada sebuah keajaiban untuk gadis yang malang ini.

Aku berlari ke lantai bawah mencari Mama. Aku harus bisa melobby mama bagaimanapun caranya. Walau kemungkinannya hanya 0,1% setidaknya itu adalah peluang. Lebih baik dibandingkan tidak ada angka diatas nol sama sekali.

"Mamaaa.. Minta uang maa.. Please." Kataku pada mama yang madih berkutat dengan dapur.

"Apa-apaan kamu. Kan masa hukuman kamu masih 2hari lagi. Nggak bisa. Mama nggak mau." Kata mama. Kann..

"Tapi ma. Ini penting banget. Lissa ulangtahun ma. Masa aku nggak dateng?" Tanyaku pada mama.

"Yaudah jalan kaki aja sana sehat." Kata mama lagi.

"Mama. Jarak dari sini kesana itu 18KM. Kalo jalan bisa mati di jalan aku ma." Kataku.

"Yaudah nggak udah dateng." Kata mama.

"Nggak bisa ma." Kataku.

"Sama Ical aja." Kata mama.

"Dia nggak mau nganterin. Ah nggak mama nggak Ical semuanya nyebelin." Kataku. Lalu dengan 'sopan'nya lari kedalam kamar karena aku tau perdebatan ini sia-sia.

RINDU (DREAME/INNOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang