Selalu Kamu

69 9 0
                                    


Rasanya baru kemarin aku menginjakan kakiku di sini. Di sekolah ini.

Melihatmu pertama kali. Merasakan jatuh hati, hingga saat ini. Perasaan ini masih sama. Deguban jantung ini pun slalu sama. Masih milikmu, masih tentangmu dan masih menuliskan namamu.

Aku mengedarkan pandanganku. Mengamati satu persatu teman-temanku. Sudut-sudut bibir mereka tertarik, membentuk lengkungan diwajah masing-masing dari mereka. Rasa haru menyelimuti siang hari ini. Tawa seluruh siswa-siswi kelas XII termasuk aku menggema di halaman sekolah.

Kami semua lulus dengan nilai yang memuaskan. Seragam putih abu-abu kami telah berubah warna menjadi full-color.

Lagi. Untuk kesekian kalinya aku kembali memperhatikanmu lewat sudut mataku. Walau dari jauh pun, aku masih bisa merekam jelas wajah tampanmu saat tertawa.

Leon—laki-laki itu bagaikan titik poros bagiku. Aku tak bisa jauh sedikit pun darinya. Walau dari jarak yang jauh, setidaknya aku bisa menikmati wajah berparas rupawan itu.

Hari ini adalah hari kelulusanku. Dan perasaanku masih sama seperti 3 tahun yang lalu. Masih tersimpan rapi di dalam hati.

Aku mengedarkan pandanganku ketika tak sengaja lagi-lagi pandanganku jatuh pada Leon.

Demi Tuhan.

Aku akan merindukan sekolah ini. Aku akan merindukan masa putih abu-abuku. Aku juga pasti akan merindukan rutinitasku mengamati Leon dari jauh, dari balik tiang-tiang penyangga langit.

Yang jelas aku akan merindukan...Leon. Ah, kenapa lagi-lagi harus pemuda itu?

“Samperin gih."

Lasti menyenggol lenganku sambil membisikan sesuatu. Sekali lagi aku hanya diam.

“Samperin sekarang atau lo bakal nyesel seumur hidup?” desis Lasti di samping telingaku.

Aku mengerang. Bagaimana bisa? Menyapanya pun aku tak pernah.

“Percaya sama gue. Sekarang atau nggak sama selamanya, Kinan.”

Oke. Kali ini ucapan Lasti terkesan otoriter. Setelah mengucapkan sesuatu barusan, Lasti meninggalkanku. Tapi nyatanya, kaki ini benar-benar menuruti perintah Lasti.

****

“Hai,” sapaku lirih.

Demi apapun, aku tak pernah menatapnya sedekat ini. Melihatnya dari jauh saja sudah membuat jantungku berdegub hebat. Apalagi kali ini, aku hanya berjarak satu meter darinya. Kuatkan imanku ya Tuhan.

“Hai..”

Dia memandangku. Dia tersenyum padaku. Dia..menyadari keberadaanku. Tapi tak pernah menyadari perasaanku.

“Emm..gue boleh minta tanda tangan lo?” tanyaku ragu. Dia terdiam cukup lama. Keningnya berkerut. Keringat sebiji jagung menuruni dahiku. Sedetik kemudian, bibirnya melengkung lalu mengangguk.

Aku yang sempat menahan nafas beberapa detik akhirnya bisa kembali bernafas lega.

“Boleh. Dimana?”

“Di sini..” aku menunjukkannya di pundakku. Saat berbalik, aku melihat Lasti tersenyum sambil mengacungkan jempolnya padaku.

Aku hanya balas tersenyum, lalu memejamkan mataku. Menikmati rasa hangat saat telapak tangannya yang kokoh menyentuh pundakku.

Darahku berdesir hebat. Kapan lagi aku bisa sedekat ini dengannya?

“Udah. Eh, gantian dong,” aku berbalik lalu tersenyum.

“Dimana?” tanyaku. Dia sedikit mengamati bajunya, mencari bagian mana yang masih kosong.

“Di sini..” dia menunjukkan di bagian dada sebelah kanan.

Aku mengangguk lalu sedikit membungkuk, mendekat kearahnya. Dengan hati-hati aku mulai menorehkan tanda tanganku di sana.

Dengan jarak sedekat ini, aku bisa mencium aroma musk yang menguar dari dalam tubuhnya. Parfumnya benar-benar membuatku mabuk kepayang.

Setelah selesai, aku menegakkan tubuhku. Sedikit mengamati hasil karyaku di seragam putih abu-abunya. Ah, andai aku tak hanya bisa menorehkan namaku di seragamnya, tapi juga di hatinya.

“Oke, thanks Nan,” aku mengerjap. Dia tau namaku, dia mengenalku.

“Elo..tau nama gue?” tanyaku.

Entah karena saking senangnya atau saking tololnya aku bertanya seperti itu. Jelas-jelas dia menyebut namaku barusan.

“Elo bercanda? Ya tau lah, kita kan sekelas. Lo lucu dehhh hahaha..” aku mengerjap—lagi-. Oh great! Sekarang dia malah menertawakan ketololanku barusan. Kenapa aku bisa lupa?

Apa dengan berhadapan dan bercakap-cakap dengan orang yang kita suka akan membuat kita amnesia tiba-tiba?

Maha dasyat kekuatan cintamu Tuhan..

“Ya udah gue gabung dulu sama yang lain. Bye Kinan..” ujarnya sambil mengacak rambutku. CATAT! Sambil mengacak rambutku. Perlakuannya barusan membuatku syok, melongo parah. Bagaimana bisa?

“Hati-hati Nan lalet masuk tau rasa lo,” kikikan Lasti membuatku cepat-cepat tersadar dari lamunanku. Entah darimana asalnya kenapa dia tiba-tiba sudah ada di sini. Oh mungkin dia sejenis makhluk astral yang tak sengaja berteman denganku, atau aku yang tak sengaja berteman dengan makhluk astral macam Lasti?

“Rese!”

Aku memutar kedua bola mataku mengingat sesuatu. Lalu dengan cepat aku memukul bahu Lasti keras.

"Sumpah gue bego banget barusan,” teriakku. Lasti melirikku tajam.

“Iya lo emang bego! Sakit tauk,” aku menggeleng-geleng dengan masih mengamati Leon yang sudah mulai hilang di balik koridor sekolah.

“Bukan!”

“Terus? Sama pertanyaan bego lo buat Leon?” aku melirik Lasti sebal. Ternyata dia tadi menguping!

“Bukan!” Lasti menoleh menatapku, aku lalu balik menatapnya. Kami berpandangan.

“Kenapa gue nggak nulisin nomor handphone gue sekalian di seragamnya?” detik itu juga Lasti berbalik sambil mengumpat.

“Kampret!”

***

Hayo yang kelas 3 udah pada lulus nih ciye. Tapi ngomong sama doi nya yang ditaksir udah belom? Jangan sampe telat ya:p ntar nyesel loh. Tsah.

Seuntai RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang