Tak Jodoh

84 9 0
                                    

Aku memejamkan mataku. Menahan sesak yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Menahan gejolak rindu di dada yang semakin bergemuruh.

Nyatanya rasa ini masih sama. Hati ini masih miliknya, masih menuliskan semua tentangnya.

Aku membuka mata. Dia berada di hadapanku sekarang. Setelah sekian tahun kami tak bertemu. Aku mengamatinya. Mengamati setiap detail garis wajahnya.

Hidungnya yang bangir. Matanya yang teduh, yang siap menghujam siapa saja dengan tatapan tajamnya. Rahangnya yang kuat sarat akan ketegasan. Semuanya masih sama.

Yang lain hanya ada pada senyumnya. Senyumnya bukan lagi untukku. Bibirnya bukan lagi untuk menciumku. Aku mendesah diam-diam dalam hati. Aku pikir dengan menjauhinya dalam beberapa tahun dapat mengubah perasaanku padanya. Nyatanya? Tidak.

"Apa kabar?" tanyanya serak.

Aku tersenyum kaku mendapati ada raut tak nyaman di wajahnya.

"Seperti yang lo liat, gue baik. Lo?" Adit-laki-laki itu-terdiam. Matanya bergerak-gerak gelisah.

"Gue..baik."

"Gimana hubungan lo sama Tiara?" tanyaku gagu. Kata-kata yang menyangkut di tengorokan ku sejak tadi akhirnya berhasil ku utarakan dengan nada sesantai mungkin.

"Kami udah..putus."

Tiba-tiba Adit meraih tanganku lalu menggenggamnya, membuat nafasku tercekat. Apa yang dilakukannya?

"Lis, gue mohon maafin gue. Gue ngerasa berdosa banget udah nyakitin elo, udah ngeduain lo sama Tiara waktu itu. Gue minta maaf banget."

Aku tertawa dalam hati. Jadi benar kalau mereka yang jadiannya karena selingkuh ngga akan berakhir bahagia? Atau diselingkuhin juga?

"Gue udah maafin elo, jauh sebelum lo minta maaf sama gue."

"Lo..mau balik sama gue?" aku terdiam. Lidahku kelu. Dalam hati aku berteriak 'Gue mau Dit! Mau bangeeet..'

Tapi kenyataan pahit kembali menamparku. Menyadarkanku pada alam nyata. Aku tak bisa.

Aku menarik tanganku dari genggamannya. Walau berat, tapi harus. Dapat di lihat gurat kecewa juga gelisah tergambar jelas di raut wajah Adit. Aku menarik nafas dalam, mencoba mengatasi sesak yang semakin mencekikku. Aku menatap Adit lalu tersenyum.

"Andai lo dateng dan bilang ini 3 bulan yang lalu Dit. Gue dengan senang hati akan bilang iya buat permintaan lo ini.." kataku sambil terus berusaha agar air mataku tak menetes saat itu juga. Adit mengerutkan dahinya.

"Maksud lo?" tanya Adit sambil menatapku intens.

"Gue udah tunangan sama Alvin."

Aku mengangkat jari manisku. Ada yang lain di sana. Sebuah cincin berwarna silver melingkar di jariku. Tanda bahwa aku telah terikat dengan orang lain.
Adit terlihat syok di hadapanku. Setengah tak percaya bahwa yang meminangku adalah sahabatnya sendiri.

"Jadi gue dateng terlambat?" tanya Adit lirih dengan suara sengau. Aku tersenyum lagi, lalu berkata pelan.

"Ini bukan masalah siapa yang dateng duluan atau yang dateng terlambat, Dit. Tapi ini masalah siapa yang bertahan dan siapa yang pergi ninggalin.." Adit menundukan wajahnya dalam.

"Alvin tetap bertahan di samping gue saat gue rapuh kehilangan elo. Dia yang semangatin gue supaya gue bisa berdiri kayak dulu lagi. Dan gue tau, dia ngelakuin ini atas nama cinta.."

"Dan lo. Lo pergi, lo terlalu sibuk mengejar bintang. Sampe lo lupa kalo di sini masih ada bulan yang setia nunggu lo. Tapi gue tau, lo ninggalin gue demi Tiara atas dasar cinta. Dan gue ngerti.."

Adit terpaku di tempatnya. Matanya merah, menahan tangis mungkin. Entahlah, yang jelas kali ini aku sudah lega. Semua uneg-uneg yang mengganggu fikiranku akhirnya dapat ku utarakan saat itu juga.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku datang ke sini bukan tanpa tujuan. Aku merogoh isi kantung tasku, lalu mengeluarkan sebuah amplop merah marun. Kemudian aku menyerahkannya kepada Adit.

"Ini buat lo. Gue harap lo dateng ya."

Adit menerima dengan tangan bergetar. Dia membukanya secara perlahan. Lalu membacanya, di sana terlihat jelas sebuah tulisan Alvin Mahendra & Alisa Damara.

"Pasti. Gue pasti dateng nanti Lis, thanks yaa.." aku tersenyum lalu mengangguk.

"Kalo gitu gue pamit dulu ya, Dit. Alvin pasti udah nunggu lama di mobil. Bye Adit."

"Bye Alisa."

Aku bangkit dari dudukku. Lalu dengan langkah pasti aku berjalan berbalik meninggalkan Adit di belakang. Terduduk di sofa rumahnya dengan menyembunyikan wajahnya.

Setelah menutup pintu mobil aku langsung menyurukan kepalaku ke dalam pelukan Alvin. Aku terisak keras di dada tunanganku siang itu. Sungguh aku masih belum bisa meredakan tangisku. Dengan lembut, Alvin mengusap rambutku lalu menciumi kepalaku berkali-berkali.

Dalam hati aku berjanji, ini yang terakhir kalinya air mataku jatuh untuk Adit. Dan setelah ini, hanya Alvin..

***

Intinya sih, yang ninggalin akan ditinggalin pada akhirnya.

Seuntai RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang