Saat semua orang lebih memilih berteduh di halte atau emperan toko untuk menghindari hujan, wanita ini-Ashilla-malah membiarkan tubuhnya di guyur hujan sore itu. Dengan masih terbalut seragam putih abu-abunya, Shilla berjalan dengan langkah terseok. Tidak ada yang tau bahwa di bawah guyuran air hujan Shilla menangis. Sama derasnya dengan hujan yang turun. Baginya hanya hujan yang dapat menghapuskan air mata yang terus mengalir di pipinya. Hanya hujan yang mampu menyamarkan tangisannya..
**
Shilla melangkahkan kakinya kekedai kopi tempat biasa ia sambangi dengan Sivia, sahabatnya. Kali ini ia datang sendiri karena Sivia sedang ada urusan dengan Alvin. Ia memilih tempat duduk di pojok dekat jendela ditemani secangkir latte hangat. Siang itu hujan cukup deras, membuat Shilla memilih berteduh disini. Shilla memejamkan matanya menikmati suara hujan yang sayup-sayup terdengar. Tangannya menyentuh dinding kaca yang sedingin es. Entah, hal itu cukup membuat Shilla merasa nyaman. Shilla sangat menyukai hujan. Baginya slalu ada pelangi setelah hujan, baginya juga slalu ada cinta setelah luka.
Shilla membuka matanya dan terkesiap melihat seseorang telah duduk di seberang mejanya. Menghadap kearah Shilla. Seorang laki-laki berwajah tampan. Hidung bangir dan alis tebal. Rahang yang tegas dan bibirnya yang merah sudah tertarik sudut-sudutnya. Laki-laki itu tersenyum.
"Boleh duduk di sini?" suaranya begitu merdu di telinga Shilla membuatnya-entah kenapa-mengangguk mengiyakan.
Mata sayu laki-laki itu menatap Shilla lembut. Membuat Shilla mengumpat dan segera memalingkan wajahnya. Sungguh, ia tak pernah bertemu dengan laki-laki nyaris sempurna macam dia.
"Anak SMA Cakrawala juga?" laki-laki itu kembali bersuara.
"Ehm..ya,"
Laki-laki itu mengangguk-angguk dan mulai menyesap kopinya yang masih mengepul. Shilla hampir menjerit saat melihat laki-laki itu menyesap, meminum dan meneguk kopinya. Semua menjadi terlihat slow motion. Kenapa terlihat begitu sexy?! Padahal cuma minum kopi! umpat Shilla dalam hati.
"Aku Cakka. Kamu?" laki-laki itu-Cakka-mengulurkan tangannya, membuat Shilla tersenyum dan membalas uluran tangannya.
"Aku Ashilla atau..Shilla," Shilla hampir tersedak air liurnya sendiri saat mendengar suaranya seperti mencicit.
Pandangan mereka bertemu, Shilla bisa melihat Cakka tersenyum hangat kepadanya. Membuat Shilla buru-buru memalingkan wajahnya. Mereka hanyut dalam keheningan yang tercipta, Shilla kembali melirik Cakka dari ekor matanya. Ia tengah memejamkan matanya.
"Aku selalu suka hujan.." mata Cakka tiba-tiba terbuka dan tersenyum melihat Shilla tengah mengamatinya. Kali ini mereka kembali berpandangan, tapi tak ada yang berniat mengakhirinya. Shilla sendiri memilih diam menunggu Cakka melanjutkan ucapannya.
"Hujan slalu bikin aku nyaman. Entah dalam keadaan apapun, aku cuma slalu ingin di temani hujan.."
"Kalo kamu suka hujan?" tanya Cakka. Shilla memalingkan wajahnya, memandang hujan yang masih turun dengan derasnya di luar sana. Bibir mungilnya melengkung.
"Aku juga slalu suka hujan.." Cakka tersenyum mendengar jawaban Shilla. Itu sudah lebih dari cukup, ia tak butuh alasan kenapa Shilla juga menyukai hujan.
***
Shilla terkesiap dari lamunannya saat mendengar suara klakson mobil dari belakangnya. Membuat ia harus menepi. Shilla memilih berteduh di halte terdekat. Tubuhnya sudah menggigil kedinginan setelah sekian lama di guyur hujan tadi. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri. Dinginnya begitu menusuk sampai ketulang. Tapi rasanya tak seberapa dari luka yang menganga dihatinya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Seuntai Rasa
Novela JuvenilKumpulan cerpen. Yang salah? Jelas tidak ada yang salah. Keliru? Aku bahkan sanksi soal itu. Tidak benar? Aku bahkan nyaris kehilangan kata 'benar' dalam hidupku. Karena tidak ada yang bisa disalahkan soal rasa. Karena aku tak pernah keliru dalam me...