Cinta Tapi Beda(1/2)

208 13 0
                                    

Apa jika Istiqlal dan Katedral bernyawa,

Mereka juga akan saling jatuh cinta?

Apa jika mereka saling jatuh cinta,

Mereka tidak bisa bersama seperti kita?

Apa jika mereka saling jatuh cinta,

Cinta mereka juga akan di salahkan?

Saat aku menggenggam tasbih,

Kau menggenggam Rosario.

Saat aku masuk Masjid,

Kau masuk ke Gereja.

Saat tanganku menengadah guna berdoa,

Tanganmu tergenggam erat.

Jika perbedaan ini hanya ilusi,

Tolong bangunkan aku dari tidurku.

Tapi bukan,

Perbedaan ini nyata.

Rasa sakitnya pun terasa nyata.

Laga tak pernah membayangkan bahwa masa orientasi di SMA barunya akan berakhir 'semembosankan' ini. Klise. Sama saja seperti dinovel-novel roman picisan milik adiknya yang sering ia baca.

Anggota OSIS yang bertingkah sok galak dan berkuasa. Lalu sibuk menindas adik kelas barunya sebagai ajang balas dendam. Atau kakak kelas yang suka modus tebar pesona kesana kemari. Ada juga yang sibuk pamer di berbagai bidang extrakurikuler pilihan mereka.

Apa tidak ada hal yang lebih bermanfaat? Seperti, memberikan cerita pengalaman mereka yang telah di dapat, yang tak pernah di alami saat SMP. Atau bercerita bagaimana asiknya berorganisasi. Atau mungkin, mengenalkan lingkungan sekolah baru yang akan ditempati adik-adik barunya selama tiga tahun kedepan.

Laga mendengus keras lalu mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru sekolah, saat matanya tak sengaja menatap senyum indah itu. Melihatnya entah mengapa membuat rasa kesal Laga hilang digantikan dengan rasa hangat yang menyusup dalam hatinya.

Laga mengerjap saat ia tertangkap basah sedang memperhatikan si pemilik senyum indah itu. Tapi tak lama pemilik senyum indah itu menunduk, menghindar bertatapan lebih lama dengan Laga. Mungkin dia salah tingkah dan sekarang pasti mukanya sudah semerah kepiting rebus, pikir Laga. Ah, memikirkannya saja sudah membuat sudut bibir Laga berkedut menahan senyum gelinya.

***

Hanum tak menyangka saat mengetahui ternyata ia satu sekolah lagi dengan teman-teman lamanya. Ia senang sekali. Hanum, Anggia dan Sita kini tengah duduk dibawah pohon rindang depan kelas sementara mereka. Hanum tertawa mendengar gerutuan Anggia tentang kakak kelas yang mengganggunya tadi. Yah resiko punya wajah cantik, batin Hanum geli.

Tak sengaja mata Hanum menangkap tatapan itu, tatapan tajam sekaligus teduh milik laki-laki yang tak Hanum ketahui namanya. Hanum menunduk setelah beberapa detik sempat bertatapan dengan mata indah itu. Rasanya pipinya terasa begitu panas. Pasti merah deh, uh. Gerutu Hanum. Tentu saja, tak pernah ada yang memandangnya seintens itu apalagi ini laki-laki yang Hanum pun tak tahu siapa. Mentok-mentok juga hanya ayahnya yang akan memelototinya apabila ia ketahuan berbohong, itu saja Hanum sudah kebal.

"Eh, pipi lo kenapa merah Num?" pertanyaan Sita membuat Hanum tergagap. Kulitnya yang putih memang akan memudahkan siapa saja melihat bahwa sekarang pipinya tengah memerah. Mati saja, sekarang dia malah harus mendapat tatapan curiga dari kedua temannya itu.

"Huh masa sih?" Hanum memegang kedua pipinya dan memasang tampang sepolos mungkin.

"Lo sakit?" tanya Anggia perhatian. Hanum cepat-cepat menggeleng.

Seuntai RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang