Hancur

30 1 0
                                    

Juna selalu menggantungkan perasaannya padaku. Aku sempat berpikir apakah Juna memang meletakan perasaannya padaku, atau dia hanyalah sebatas sweet guy yang berbuat baik terhadap semua wanita. Hubunganku dengan Juna semakin aneh. Terkadang aku lelah dengan keadaanku yang seperti ini. Pada suatu waktu kami bergandengan, kemudian esoknya bertingkah tak ada apapun yang terjadi. Aku membolak balikkan kalender di rumahku, tak terasa aku sudah berada di penghujung semester. Waktuku untuk berjumpa dengan Juna tinggalah 2 semester lagi.

Aku menjauh dari Juna, berharap ketika sudah tiba waktunya aku tidak akan merasakan apapun. Namun semakin aku menjauhi Juna, justru Juna semakin sering menghubungiku. Semakin sering juga Juna mengajakku keluar, dan mengenalkanku pada teman-teman serta saudaranya.

"Nak, sebenernya kamu sama mas Juna itu pacaran nggak sih?" Tanya ibuku sewaktu makan malam.

"Enggak ma, cuman temen biasa kok" Jawabku

"Udah tinggal aja, mama lihat kok kamu kayak digantungin gitu sama Juna. Nggak jelas statusnya tapi perilakunya kayak orang pacaran." Lanjut ibuku. Aku tertunduk

"Mas Juna mungkin lagi nggak pengen pacaran, ma. Aku juga nggak begitu tertarik kok."

"Nak, kamu sama Juna itu ibarat nutup hati kamu buat orang lain. Mama lihat kok kayaknya si Febri suka sama kamu, tapi kamunya malah sama Juna terus. Kamu yang emang gak peka apa gimana?" 

"Eh tapi mas Juna lucu kemaren. Manggilnya bukan tante lagi, tapi mama gitu"

Kemudian setelah makan aku naik ke kamarku, kulihat notification di layar ponselku, dari Febri.

"Nya, tugasnya udah aku kirim, dicek dulu." 

"Oke Feb, makasih."

Aku telah menghancurkan tembok pertemananku dengan beberapa teman dekatku hanya karena Juna. Aku dan Febri sudah hampir 2 semester tak saling bicara. Ya, aku tahu Febri menyukaiku, namun aku tidak mengindahkannya sedikitpun. Aku mencampakkannya. Febri sempat berpikir kalau aku ditikung Juna, namun sesungguhnya yang terjadi bukanlah seperti itu. Aku yang pertama mendekati Juna. Aku yang mengajaknya pertama berkenalan, kemudian rasa nyaman itu tiba, dan kami pun menjadi dekat.

Bukan berarti aku dan Juna tidak tahu diuntung, tapi memang terkadang rasa cinta itu tidak bisa disembunyikan dan bisa datang kapan saja. Perasaan cintapun juga tidak dapat dipaksakan. Febri memang sosok lelaki yang baik, namun sikapnya yang seperti anak kecil kerap membuatku tidak tahan. Terkadang dia terlalu over protektif. Terkadang dia bersifat sok tahu teramat sangat, terkadang juga dia bertindak terlalu berlebihan. Sewaktu aku jalan dengan Febri, akulah yang merasa harus melindunginya. Aku selalu merasa tidak aman karena Febri sering teledor dan penakut.

Berbeda 180 derajat dengan Juna. Dia selalu melindungiku dan menyuruhku berjalan di sebelah kirinya. Juna selalu menyebrangkan jalan untukku. Juna benar - benar seperti malaikat tanpa sayap bagiku. Dia yang membantuku sewaktu aku pindah rumah, dia yang mengantarkanku ke rumah sakit disaat vertigo dan darah rendahku kambuh.

Tidak hanya dengan Febri, hubungan pertemananku dengan Anti sahabatku juga retak hanya karena Juna. Anti yang sekelas dengan Juna dan selalu bertemu dengannya, serta sifatnya yang rajin mencatat materi, dan wajahnya yang cantik, ditambah kedekatannya dengan Juna membuatku cemburu. Aku tahu Anti hanyalah teman sekelas Juna yang berbaik hati meminjamkan catatan dan mengajarinya jika Juna tidak paham. Namun paras cantik, kulit putih, nada berbicara yang lembut, serta kerudungnya yang cukup rapat membuatku sangat mencemburuinya.

Aku takut bila Juna berpaling padanya.

Aku takut bila Juna teralihkan perhatiannya dariku.

Ditambah dengan Anti yang selalu membicarakan kedekatannya dengan Juna membuatku semakin panas dan tidak tahan mendengarnya. Aku tahu, Anti hanya menanggapi pembicaraanku, tapi tanggapan Anti jauh lebih heboh dari perkiraanku.

Anti tahu apa sampo yang dipakai Juna.

Anti juga memanggil Juna dengan panggilan tertentu. 

Anti tidak mendengarkan saranku, tapi justru meminta saran dari Juna.

Anti mulai bercerita dan berkeluh kesah dengan Juna.

Kedekatan mereka berdua telah menyulut api cemburu di dalam diriku. Hingga kulontarkan kata - kata itu pada Anti kalau aku tidak suka dengan kedekatannya dengan Juna. Dan semua berakhir seperti ini..

Aku,

Febri,

Anti,

Hancur.

Kami tidak lagi saling bicara karena Juna. Jika aku harus meninggalkan Juna untuk mereka berdua, aku belum siap. Jadi kupilih jalan lain, yaitu dengan menghindari mereka semua termasuk Juna.

"Jun, aku meh penelitian ning Bandung, kowe titip opo? Kartikasari gelem?"

(Jun, aku maupenelitian di Bandung, kamu titip apa? Kartikasari mau?)

"Wooo gelem Nyaa tapi mengko basi soale orak langsung ketemu"

(Mau, Nya. Tapi nanti basi soalnya kita nggak langsung ketemu)

"Yowes Jun, ati - ati yo. Aku mangkat sek. Kowe kapan mangkat?"

(Yaudah Jun, hati-hati ya. Aku berangkat dulu. Kamu kapan berangkat?)

"Sesuk Nyaa doakke aku betah yoo dan lancar praktekke"

(Besok Nya, doakan aku betah dan lancar prakteknya ya)

"Okee Jun. Maaf yo nek aku ngrepotke terus."

(Oke Jun. Maaf ya kalau aku ngerepotin terus)

"Santai aja Nya, kalau ada masalah bilang aja. Kalau butuh bantuan apa - apa bilang aja ya, aku bisa bantu - bantu kok."

Semua berubah ketika gue - elo menjadi aku - kamu.
Begitu juga semua berubah ketika kowe - aku menjadi aku - kamu.

Sudah sangat lama sejak Juna memanggilku atau berbicara padaku dengan bahasa Indonesia. Dia selalu berbicara menggunakan bahasa Jawa.

Aku masuk ke dalam stasiun. Kulambaikan tangan pada Juna yang berjalan mundur ke arah parkiran motor.

Bermil mil jauhnya aku dan Juna berpisah selama 5 bulan. Aku di Bandung, dan Juna di sebuah desa kecil di Banyuwangi. Tidak ada komunikasi diantara kita. Tidak ada postingan apapun mengenai dia, atau seorang teman yang sekedar membicarakannya. Ditambah ponselnya yang rusak dan sinyal yang tidak mendukung.

Juna menghilang. Begitu juga aku.

Kami terhanyut pada kesibukan masing - masing. Aku hanya menunggu semesta untuk bersabda apakah aku masih diizinkan untuk melihat Juna, atau ini saatnya untuk pergi.

Suara peluit dari kereta malam itu mengakhiri perjumpaanku dengan Arjuna, mengakhiri percakapanku juga dengannya.

Arjuna [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang