While My Guitar Gently Weeps

52 1 0
                                    

Juna menyadari kehadiranku di depan pintu kamarnya, dia lalu menyapaku dengan wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sebuah senyuman yang ikhlas. Matanya berbinar dan bibirnya yang tipis memanjang seperti bulan sabit.  Kuakui, aku belum pernah melihatnya seperti ini.

Biasanya Juna tertawa terbahak-bahak bila ada sesuatu yang dianggapnya lucu, atau hanya memiringkan senyumnya untuk sekedar merespon hal yang tidak begitu menarik baginya. Selain dua hal itu, Juna tidak pernah tersenyum, bahkan menyapa orang saja dengan ekspresi yang datar. Alis matanya yang tebal dan hidungnya yang mancung serta tatapannya yang tajam menambah kengerian sehingga banyak yang merasa takut padanya.

Kemudian ia berbaring lagi di kasurnya sambil menghadap tembok.

"Nya, kamu bisa nggak mainan gitar?"

Tanya Vincent sambil menenteng gitar dari kursi depan

"Nggak begitu lancar sih, Cent. Kenapa?"

Aku balik bertanya

"Coba sini, aku mau denger kamu kalok main gimana." Tantang Vincent sambil menyodorkan gitar berwarna putih itu.

"Wait... aku request dong, lagunya Adam Levine yang Lost Stars. Tau?"

Aku mengangguk. Lalu kumainkan lagu itu perlahan.

".... take my hand let's see where we wake up tomorrow, yesterday i saw a lion kiss a dear.."

Kemudian Juna bangkit dari tidurnya dan senyumnya makin memanjang. Ia menatapku cukup lama, aku tak peduli, aku tetap memainkannya hingga lagu itu berakhir..

"Wanjiirr kamu ternyata bisa main gitar juga to, Nya! Baru tau aku! Lagi dong lagi, bikin merinding nih." Teriak Vincent heboh.

Aku melanjutkan dengan lagu I WIll Fly, lalu juna turun dari kasurnya dan duduk persis di depanku. Masih dengan bulan sabit di bawah hidungnya yang melebar. Matanya terus menatapku, hingga aku salah fokus dan membalikan badan.

"Loh kok berhenti, Nya?" Tanya Juna

"Nggak enak gitarnya. Senarnya lepas satu jadi nggak bisa maksimal mainnya. Suaranya rada pales gitu gara-gara bass nya ilang satu. Btw, ini senarnya kok aneh sih, yang atas string yang bawah nilon. Udahlah nonton tv aja ah." Jawabku ngeles sambil menyalakan tv dan mencari-cari film. Juna tidak menjawabku lalu keluar dari kamar dan masuk ke dalam kamar mandi.

Kemudian Yayan, Febri, dan Wikan datang bebarengan. Mereka mau mengerjakan tugas bersama, lalu nimbrung bersamaku dan Vincent menonton film komedi Thailand. Beberapa saat kemudian Juna keluar dari kamar mandi lalu masuk ke kamarnya sebentar dan keluar membawa sepeda motornya. Aku tidak begitu memperhatikannya karena fokus menonton film dan tertawa.

Beberapa saat kemudian, Juna kembali lagi, memarkir motornya, masuk ke dalam kamar, dan duduk di depan pintu. Aku kembali fokus menonton, lalu ia menepuk pundakku dan menyodorkan gitar yang tadi.

"Loh.. kok senarnya udah komplit sih?" Tanyaku, Juna tidak membalasku lalu duduk diatas punggung Wikan yang besar sambil tertawa terbahak-bahak dan mengeraskan volume tv.

Mengapa Juna melakukan ini? Dia bahkan masih belum bisa berjalan seperti orang normal dan keluar hanya untuk membeli satu biji senar gitar lalu memasangkannya untukku.

Aku merasa bersalah..

Mungkin aku harus mulai menjaga ucapanku dan berhenti untuk selalu protes akan keadaan. Juna sedang sakit, tidak seharusnya aku mengalihkan perasaanku dengan ngeles semacam tadi. Aku membayangkan apa yang akan terjadi hanya karena senar gitar kemudian terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi pada Juna di luar sana.

"Juna, aku balik dulu ya. Udah sore." Kataku pamit.

"Iya Nya, ati-ati." Jawabnya tanpa melihatku, kemudian dia tertawa lagi bersama Yayan, Vincent, Febri, dan Wikan.

Satu minggu setelah itu, aku mendapatkan jatah kelompok praktikum Kimia Perairan. Kubaca satu persatu anggota kelompok, dan aku satu kelompok dengan Febri... dan Arjuna.

Juna tidak banyak bicara saat praktikum sedang berlangsung. Ketika praktikum modul dua sedang berlangsung, Juna berdiri di sampingku sambil meletakkan kepalanya di atas meja dan melirikku, lalu ia tersenyum simpul

"Nya?" Panggilnya

"Apa?" Jawabku singkat sambil mengamati titrasi yang sedang berlangsung

"Aku boleh nggak nginep di rumahmu?" Tanyanya sambil tertawa. Sontak Ani yang satu kelompok juga denganku kaget mendengarnya.

"Hm.. boleh. Tapi kamu nggak boleh bobok di kamarku."

"Bhahahah tuh Jun, dengerin!" Timpal Ani. Juna lalu kembali tertawa dan meninggalkan meja titrasi.

Seusai praktikum, aku cepat cepat pulang ke rumah lalu mengantarkan adikku pergi ke tempat les. Kemudian handphoneku bergetar, ada chat dari Juna.

[17.40] : Nya, aku serius, boleh nggak nginep di rumahmu?

[17.42] : Laaahh.. laah.. kenapa dah emang di kosanmu?

[17.42] : Rame banget, besok kan ada ujian Botani. Nggak bisa belajar aku, takut nilai jeblok.

[17.50] : Hm.. yaudah deh. Eh tapi kamu bawa orang satu lagi ya, jangan sendirian. Nggak enak sama mamaku

[17.53] : Okeee. Aku ajak siapa enaknya?

[17.53] : Ucup coba, mau nggak dia? Eh tapi kan dia gak tau rumahku. Yaudah ajak Febri aja.

[17.59] : Siapp, bentar yak abis ini mau berangkat

[17.59] : Oke.

Aku tidak tahu apa yang baru saja kulakukan, aku hanya meng-iya-kan permintaannya sebagai tanda maaf kemarin yang membuatnya keluar di siang bolong hanya untuk sebuah senar.

Kutunggu hingga jam 8 malam Juna belum juga memberi kabar. Mungkin dia hanya bercanda. Aku lalu menyalakan komputer dan memainkan Plant vs Zombie cukup lama, handphoneku bergetar lagi, kulihat notification yang muncul. Juna.

[20.38] : Nyaaa tahaaann jangan bobok duluu aku mau berangkat ini

[20.29] : Tadi juga bilangnya mau berangkat, mana?

[20.29] : Iya maaf tadi si Angga ngeributin minta tolong aku bantuin dia nyusun daftar isi. Sekarang bener-bener udah siap. Yaudah tunggu ya, aku sama Febri udah di motor nih

[20.31] : Iyaaa, ati-ati gelap.

Tepat jam 9, Juna datang bersama Febri. Lalu belajar sebentar bersamaku, kemudian perhatiannya teralihkan oleh gitar peninggalan kakekku yang kuletakkan di samping tempat tidurku.

"Oh kamu punya gitar juga di rumah, nyobain yaa.."

Lalu dipetiknya satu persatu senarnya dan mengalunkan nada yang indah. Sungguh, aku baru tahu kalau Juna dapat bermain gitar dengan sangat baik. Aku bahkan tidak bisa melepaskan mataku dari jemarinya yang lentur. Hanya saja dia tidak bernyanyi karena malu dengan suaranya yang tidak sebagus caranya bermain. 

Malam itu kuhabiskan dengan menikmati permainan Juna, dan saat itu aku tersadar, ada sesuatu yang cukup bergejolak di dalam diriku.



Arjuna [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang