e n a m b e l a s

458 34 19
                                    

Tiga hari. Itu yang dibilang Azreina. Dia bilang tiga hari lagi baru akan berangkat ke Singapura kemarin. Itu artinya, Edgar
masih mempunyai waktu untuk menghabiskan hari-hari terakhir bersama Azreina sebelum ia benar-benar pergi dari kota Bandung.

Kota yang bersejarah nan penuh kenangan. Semuanya diawali dari tanah kota ini. Dan ditonton oleh cakrawala Bandung. Semua sudah terlukis di langit bersanding dengan cerita orang banyak.

Namun, setelah sore itu, keesokan harinya Azreina menghilang. Tidak masuk sekolah, nomornya tidak bisa dihubungi, dan tidak ada di rumahnya. Bahkan bukan hanya Azreina, namun semua anggota keluarganya. Mamanya, papanya, abangnya pun seolah hilang ditelan bumi.

Tidak ada yang mengetahui keberadaan mereka. Edgar bertanya kepada kelapa sekolahnya, Edgar juga bertanya ke sana kemari pada tetangga sekitar. Namun nihil. Tidak ada yang tahu. Benar-benar lenyap tanpa jejak. Tak sedikitpun yang ditinggalkan.

Mungkinkah Azreina berbohong dan sudah pergi?

Pertanyaan itu yang selalu berkecamuk dikepala Edgar. Edgar benar-benar seperti raga tanpa jiwa. Seperti pantai tanpa ombak. Layaknya burung tanpa sayap. Benar-benar kehilangan kesadaran.

Yang ada dibenaknya hanyalah Azreina. Azreina. Dan Azreina. Tidak lagi terpikirkan hal lain. Sekolahnya berantakan, hidupnya terbengkalai. Dia tidak lagi terlihat seperti Edgar si pemilik mata elang yang tegap nan berkarisma.

Semua hilang dibawa Azreina. Separuh jiwanya. Separuh nafasnya. Tulang rusuknya. Separuh nyaris sepenuh hidupnya hilang terbawa angin. Terseret arus waktu. Juga teromabang-ambing ombak cinta.

Semua prihatin melihat Edgar seperti itu. Mamanya, kerap kali menangis tiap kali berbicara dengan anaknya. Tidak ada lagi bantahan jahil yang terlontar jika sedang berbincang. Adiknya-Tasya-pun seperti tak mengenali abangnya lagi. Yandi dan Fandi, hanya bisa memendam. Tak kuat untuk mendekati dan berbicara pada Edgar. Hanya melihatnya saja air mata sudah menetes, apalagi berinteraksi?

Malam itu, Edgar menatap nyalang pada sebuah pigura foto seorang gadis berdarah Asia yang diambil diam-diam. Tampak, dalam foto itu sang gadis sedang mengerucutkan bibirnya karena kesal. Menekuk muka dalam-dalam dan melipat tangan di dada. Berbeda dengan foto disampingnya.

Foto itu masih sama-tetap gadis itu-namun pada foto yang satu lagi, gadis itu terlihat tertawa lepas, tanpa beban, mengalir begitu saja. Bahkan suaranya pun masih terngiang dibenak Edgar.

Setetes air mata meluncur lagi. Tidak dapat dipungikiri karena bayangan juga kenangan itu amat-sangat sulit terhapuskan. Jangankan terhapus, terlupakan barang semenit saja tidak. Ini semua terlalu cepat bagi Edgar.

Rasanya baru kemarin ia bertemu dengan Azreina. Baru kemarin ia menggoda sehingga membuatnya kesal. Baru kemarin ia mengutarakan isi hatinya dan ditolak begitu saja. Dan baru kemarin juga ia ditinggalkan.

Rasanya, semuanya seperti berjalan beriringan. Terjadi pada detik dan menit yang sama.

Tasya memandang miris pada Edgar. Melihat abangya yang sudah tidak seperti dulu lagi. Dia kehilangan sosok idolanya. Dia kehilangan panutannya. Dia kehilangan 'kapten'nya. Dia benar-benar kehilangan. Semua yang melekat pada Edgar seolah lenyap begitu saja bersamaan dengan berhembusnya nafas. Pergi dalam sebuah angan. Bersembunyi pada sebuah harapan.

"Bang," Tasya mendekati Edgar yang sedang duduk di ranjangnya dan memanggil dengan hati-hati.

Edgar menoleh. Melihat Tasya yang bergelimangan air mata. Hatinya tergores lagi di atas luka. Luka yang belum menemukan obatnya. Luka yang belum kering. Luka yang masih baru.

Edgar menarik Tasya untuk lebih dekat dengannya. Lalu merengkuh adiknya. Menitipkan sejenak beban dipundaknya. Mencari penopang sementara. Menceritakan lewat batin juga bahasa tubuh dalam diam. Berniat ingin membagi keluh bersama kesah yang menghantuinya selama ini.

Can I Call You 'My Love'? [COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang