Harper terdiam di kamarnya. Pikirannya melayang jauh ke masa lalunya. Mengingat masa kecilnya yang sangat bahagia dengan adanya ibu disampingnya.
Bagi Harper, Naya adalah idolanya. Wanita paling hebat yang pernah ada di hidupnya. Wanita itu menyayanginya seolah Harper adalah darah dagingnya sendiri. Sungguh, Harper rela menukar apapun untuk memiliki ibu seperti Naya.
Harper ingat saat ayahnya mengungkapkan kebenaran itu padanya. Kebenaran bahwa dia hanyalah anak angkat. Bahwa dua orang yang sangat dicintainya itu ternyata tidak memiliki hubungan darah dengannya.
Harper hanya bisa terdiam dan tidak menangis walaupun dirinya ingin. Rasanya jantungnya direnggut paksa. Dia terlalu takut jika nantinya dia akan 'dibuang' oleh ayah dan ibunya. Dia takut mereka akan mengembalikannya pada orangtua kandung yang tak pernah dikenalnya. Dia takut.
Dan Naya, dengan airmata bercucuran memeluknya, menciumnya, dan berkata padanya bahwa wanita itu adalah ibunya sampai kapanpun. Usianya dua belas tahun saat kebenaran itu tersampaikan. Barulah Harper bisa menangis. Menangis lega lebih tepatnya. Dia tidak peduli jika dia hanyalah seorang anak angkat, yang penting baginya adalah Naya tetap mencintainya.
Bertahun - tahun, kedua orangtuanya itu membesarkannya dengan penuh cinta kasih. Tidak ada perbedaan atas perlakuan mereka padanya. Dan Harper benar - benar bersyukur bisa menjadi putri seorang Teddy Sandjaya. Mereka berdua adalah dua orang terbaik yang pernah dimilikinya. Bahkan ketika pada akhirnya Ted dan Naya membawanya pada orangtua kandungnya, dirinya tetap tidak bisa mencintai dua orang itu.
Harper ingat, dua orang itu pernah membuatnya sangat ketakutan. Dia selalu ingat wajah kedua orang itu. Dua orang yang katanya adalah orangtua kandungnya. Dua orang yang tidak pernah mau dia temui lagi. Harper tidak akan pernah bisa melupakan peristiwa mengerikan itu. Penculikan itu selalu membekas di ingatannya. Sampai detik ini.
Harper bahkan tidak berani pergi ke London sendirian tanpa orangtuanya. Dia takut peristiwa itu terulang lagi. Dia takut jika ternyata dua orang itu sudah keluar dari penjara dan bertemu dengannya di jalanan.
Memang trauma itu sudah hilang, tapi tetap saja, kota London, terlebih kota Manchester, meninggalkan bekas ketakutan yang amat sangat di dirinya.
Harper mendesah keras dan keluar dari kamar. Dia butuh minum.
Biasanya dia menyediakan pitcher berisi air putih dikamarnya, tapi malam ini pitcher itu kosong.Harper melangkah pelan keluar kamarnya. Suasana sudah sepi. Mungkin semua orang sudah tertidur. Dia baru akan turun saat mendengar suara itu. Suara kedua orangtuanya yang sedang berbicara di perpustakaan terbuka yang ada di lantai dua. Ayah dan ibunya suka sekali membaca hingga mereka membuat perpustakaan itu.
"Ted, beri Harper waktu. Jangan kau paksa dia," ibunya bersuara dengan pelan.
Harper berdiri di balik tembok mendengarkan. Sungguh dia tidak ada niat untuk menguping, tapi begitu namanya disebut, rasa penasaran itu muncul dalam dirinya.
"Sayang, sudah waktunya dia belajar. Resort itu miliknya, suatu saat dia harus menanganinya sendiri," jawab ayahnya tak kalah pelan.
"Aku tahu, tapi pahamilah dia, dia belum siap."
"Belum siap? Usianya sudah dua puluh satu tahun, sudah saatnya dia mulai bekerja. Aku bahkan sudah bekerja di kantor Papa saat umurku delapan belas."
"Itu kan kau! Jangan samakan Harper dengan dirimu."
Selama beberapa saat, Harper tak mendengar suara apapun. Saat dirinya mengintip, kedua orangtuanya sedang bertatapan. Ayahnya membelai satu pipi ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey Of Love: Harper - Aldrian
General FictionSpin off Babysitter Matre Tersedia di Karyakarsa Aldrian Aillard Bramastya mengenal Harper Quinina Sandjaya sejak ia masih kecil. Gadis kecil cengeng dan menyebalkan yang telah merebut perhatian Aunty-nya. Namun, siap sangka, ketika dewasa Aldrian j...