12

122 6 1
                                    


Ai

Percaya atau tidak, aku merasa lebih baik setelah beberapa hari meliburkan diri. Meski mengatakan alasan yang tak sepenuhnya benar pada Nada dan teman kantor lain, serta bayang – bayang mengenai tumpukan pekerjaan yang kian membututi, aku merasa lega telah meluangkan waktu untuk diriku sendiri dan juga Nathan.

Aku menelepon Hans, sesaat setelah jam kantor selesai hari itu. Dialah satu – satunya orang yang tahu mengenai kehidupanku sekarang dan keadaan finansialku yang belum pasti. Nathan juga mengenalnya. Tapi bukan sebagai Hans yang sekarang karena mereka sudah tidak bertemu sejak bertahun – tahun lalu.

Ketika mengatakan alasan aku mengambil cuti selama tiga hari, Hans terdiam lama. Awalnya aku ragu untuk meneleponnya, membayangkan dirinya sedang di mobil bersama Cecilia. Tapi kemudian aku memberanikan diri dan mengatakan yang sebenarnya.

Untungnya, Hans sedang di luar negeri, Macau tepatnya. Dia bilang sedang ada meeting dengan potencial client disana. Hans sempat menanyakan kabarku, katanya mendengar desas – desus bahwa aku sedang sakit. Aku hanya tertawa kemudian mengatakan kenyataannya, aku juga memintanya untuk tetap merahasiakan hal itu agar hanya dirinya yang perlu tahu.

Sama seperti dulu, ternyata Hans mengiyakan permintaan itu. Aku lega begitu mendengar responnya. Dalam hati aku mengerti, meski kami bukan lagi sepasang teman, tapi aku tahu ia bukan orang yang mudah lupa dengan masa lalunya.

Menyadari approvement dari Hans, aku langsung memberi tahu Nathan dengan gembira. Berharap aku bisa membayar waktu – waktu yang tak pernah kuhabiskan dengannya karena kami berdua sudah terlalu lama larut dalam rutinitas yang itu – itu saja. Yang hanya bertukar ucapan goodnight setiap malamnya, namun tak tahu bagaimana keadaan masing – masing. Aku yang selalu pulang diatas jam sembilan, tak pernah sempat menengok ke kamarnya yang sudah gelap. Sedangkan Nathan sendiri mulai asyik dengan kegiatan sekolahnya dan lebih memilih main PS ketimbang ngobrol denganku.

Bicara soal Nathan, aku tak tahu pasti kapan tepatnya anak itu tumbuh seperti sekarang. Dulu dia tambun, dengan pipi yang sering orang – orang juluki seperti bakpao, dan mata sipit karena ayah keturunan Chinese. Dulu Nathan juga paling suka main mobil – mobilan di depan rumah bersama anak tetangga. Waktu itu aku masih SMA, dan setiap pulang sekolah aku selalu melihatnya duduk di lantai beranda bersama mainan kesayangannya itu. Kadang aku juga diajaknya lomba balapan, tapi tak pernah ku gubris karena aku malas mendengar ocehannya.

Namun, seiring dengan waktu yang berlalu, entah kenapa aku mulai merasa menyesal. Menyesal karena dulu saat Nathan masih polos – polosnya, kami jarang menghabiskan waktu bersama. Aku tak tahu siapa teman – temannya, sedangkan dia hanya menjawab jika kutanya. Kami jarang bicara karena jarak umur yang terpaut jauh, dan rasa gengsi yang memenuhi diri kami masing – masing.

Sekarang, setelah aku tumbuh dewasa dan dia mulai mengerti dunia luar, kami tidak bisa melakukan hal – hal seperti dulu. Terlebih setelah orangtuaku meninggal dan aku merangkap pekerjaan mereka menjadi tulang punggung keluarga. Aku menjadi tidak sadar dengan perubahan yang terjadi pada Nathan. Tubuhnya yang meninggi menjelang kelas 6, pipi bakpaonya yang perlahan surut, digantikan lesung pipi yang ternyata bersembunyi di baliknya. Suaranya yang mulai berubah, disertai moodswing yang kadang membuatku kesal bukan main.

Aku merasa bersalah, pada dirinya, dan pada diriku sendiri karena kami tak sepatutnya sejauh ini.

Untuk itulah selama 3 hari itu, aku berusaha untuk mendekatinya dan menjadi sosok kakak perempuan seperti harapanku. Aku memasak untuknya, menggantikan semangkuk bubur yang jatuh dalam kecelakaan itu dengan homemade apple strudel kesukaannya. Kami juga menghabiskan malam dengan marathon diary of wimpy kid, film yang selera humornya menurutku murah namun selalu berhasil membuat Nathan tertawa terpingkal – pingkal.

Another NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang