7

81 3 0
                                    

Ai

Entah kenapa suasana di mobil begitu berbeda setelah kami kembali dari butik SCH. Ekspresi Arras memang sudah kembali seperti semua, dia menyetir dengan wajah tenang, Namun suasana diantara kami berdua masih sangat canggung. Meski ia mencoba untuk bercanda beberapa kali, dan kami memutuskan untuk melupakan kejadian kemarin, aku tetap tidak bisa kembali seperti semula. Seperti ada sesuatu yang menghentikanu, mengatakan bahwa ada yang salah diantara kami berdua.

Renata tiba – tiba menelepon saat kami baru bergegas menuju galeri. Dia bilang akan ada rapat mendadak pukul 3 sore nanti. Katanya sebelum rapat, Hans ingin menemuiku terlebih dulu. Dari nada bicaranya, aku tidak bisa menebak apa yang tejadi. Aku hanya berharap bahwa semuanya baik – baik saja.

Ketika sampai di ruangan kerja, aku sudah di tunggu oleh Nada. Dia tampak kebingungan dan cemas seolah sesuatu yang buruk telah terjadi. Di tangannya, ada beberapa dokumen yang menunggu untuk di tanda tangani. Aku menatapnya dengan ekspresi khawatir, "Ada apa?" Tanyaku setelah menutup pintu ruangan agar tidak ada yang memperhatikan.

"Mbak udah ditunggu Pak Hans di ruangannya. Segera, sebelum rapat dimulai." Dia menyerahkan dokumen itu, lalu keluar tanpa bicara lagi. Aku membuka map merah yang diberikannya, lantas terkejut begitu melihat isinya.

"Nada!" Aku memanggilnya namun perempuan itu tidak menoleh. Biasanya ada dua kemungkinan ketika Hans meminta kami datang untuk rapat mendadak. Opsi pertama, dia akan memberikan kami bonus, sesuatu yang kami tunggu – tunggu. Atau kedua, salah satu dari kami telah membuat masalah yang membuatnya harus turun tangan. Aku berharap jangan sampai opsi kedua itu merupakan jawabannya.

Dengan perasaan campur aduk aku meninggalkan ruang kerjaku dan segera menuju lift. Ruangan Hans terletak di lantai paling atas, dan aku jarang kesana jika bukan karena keperluan khusus. Di dalam lift, aku terus memejamkan mata. Mengingat kembali hal apa yang harus kukatakan padanya.

Sebelum masuk ke ruangannya, aku sempat bertukar pandangan dengan sekretaris Hans yang sedang menerima telepon. Dia tersenyum begitu melihatku dan langsung mempersilahkanku masuk. Aku mengetuk pintunya, dua kali, lalu menunggu beberapa detik sampai mendengar suara Hans yang berat.

"Ya, masuk."

Seperti yang pernah kukatakan, hubunganku dengan Hans terbilang rumit dan susah untuk dijelaskan. Kami tidak bisa bersikap informal, mengingat kedudukannya yang lebih tinggi daripadaku dan posisinya sebagai direktur dari perusahaan ini. Tapi kami juga bukan dua orang asing yang hanya mengetahui satu sama lain di lingkungan kerja saja. Kami dulunya sahabat, dan status itulah yang membuat hubungan kami sangat rumit dan canggung.

"Oh, Ai. Silahkan duduk, saya memang sedang nunggu kamu."

Diluar, Hans memang tampak intelek dengan tampilannya yang smart dan necis. Posisinya sekarang mengharuskannya untuk berpenampilan rapi dan berwibawa. Tapi di balik itu semua, aku tahu Hans masihlah seorang anak muda yang idealis. Di waktu – waktu seperti sekarang, saat aku menghadapnya untuk melaporkan sesuatu, aku dapat melihat kegelisahan di wajahnya. Seolah dia ingin mengatakan padaku, Ai gue nyerah. Di balik imej itu, aku bisa menemukan keletihan yang dirasakannya.

"Ada apa ya, Pak?"

Dulu, rasanya aneh memanggilnya dengan sebutan Bapak. Dia hanya lebih tua beberapa tahun dariku, dan kami tak pernah bicara dengan formal sebelumnya. Tapi itulah arti perubahan, betapa berbedanya hubungan kami yang dulu dengan sekarang. Sehingga aku seperti tak lagi mengenalnya.

"Itu, soal kegiatan magang itu. Saya ingin tahu laporan jelasnya."

Sejak Renata memberitahuku bahwa akan ada rapat mendadak, sebenarnya jauh di dalam benakku aku sempat memikirkan itu. Hans jelas tahu aku berbohong padanya, dan soal Arras—entah apa yang telah didengarnya dari Cecilia. Namun aku ingin tahu kenapa ia memberikan persetujuannya.

Hans membenarkan posisi duduknya, lalu ia meregangkan dasi yang seperti mencekik lehernya. Di atas meja kerja, kertas dan dokumen – dokumen lain tersebar berantakan. Ia menghembuskan napas panjang lalu berkata, "Saya nggak ingin berbasa – basi, jadi sebelum saya yang bertanya lebih baik kamu duluan yang menjelaskan."

Nadanya absolut, tanpa kenal protes. Aku menunduk untuk menghindari tatapannya. "Bapak sudah tahu soal Arras, kan?" Aku memulai dengan gugup, "Saya bisa jelasin pak kenapa saya asal memasukkan dia saja. Tapi sebelumnya, saya ingin tahu, kenapa bapak bisa setuju begitu aja waktu liat list nya, tanpa nanya apa – apa ke saya?"

Hans melipat kedua tangannya, aku mendongak untuk melihat ekspresinya. "Saya bukan baru kemarin kenal kamu, Ai." Tiba – tiba dia tersenyum, tampak ramah seperti Hans yang kukenal dulu. "Saya tahu apapun yang kamu lakukan itu pasti ada alasannya. Kali ini begitu juga kan?"

Aku menghembuskan napas lega, beban dibahuku sedikit terangkat begitu tahu Hans tidak marah soal itu. "Saya nggak butuh penjelasan rinci, lagipula waktu Renata memberikan resumenya, saya lihat dia anak yang berpotensial. Nilainya bagus – bagus, malah hampir sempurna. Belum lagi statusnya, ketika saya lihat ternyata dia anak pengusaha besar."

Aku terkejut begitu mendengarnya, entah harus menjawab apa. Hans menatapku seolah bertanya mengapa aku sekaget itu ketika mengetahuinya. Aku baru tahu siapa suami pertama Tante Nadja, tak pernah terpikirkan olehku kalau dia itu anak pengusaha. Pantes saja tadi di butik...

"Soal misunderstanding itu, lupakan. Kalaupun ada test atau wawancara, saya sudah tahu kalau anak itu pasti di terima. Yang saya ingin katakan sekarang adalah, karena kamu yang pertama kali memasukannya, saya ingin kamu yang menjadi penanggung jawab anak itu. Saya sudah minta ke Renata untuk menempatkan dia di bagian pemasaran. Supaya kamu bisa bimbing dia, lagipula saya dengar, ternyata kalian sepupuan ya?"

Strike. Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Aku tidak dapat membedakan maksud perkataan Hans tadi, apa dia memang benar – benar menganggapku dan Arras sebagai sepupu? Atau inilah caranya untuk diam – diam menghukumku? Aku kembali menunduk, merasakan tanganku yang mulai basah karena keringat.

"Bagaimana Ai? Kamu nggak keberatan 'kan?"

Jika Arras berada di departemenku, itu artinya aku akan bertemu dengan anak itu setiap hari. Dan dia secara langsung akan mendapat pelatihan dariku. Aku tidak mau terus – terusan berhubungan dengannya. Hari ini saja entah apa yang terjadi diantara kami berdua—tapi melihat emosinya yang labil membuatku ragu tentang sifat asli anak itu. Apa yang harus kulakukan?

"Tapi Pak, apa nggak dikira aneh kalau dia masuk departemen saya? Kemarin saja anak – anak sudah ngeluh." Aku mencoba mencari alasan lain agar Hans mau berubah pikiran.

Sialnya, Hans malah menggeleng. "Nggak, justru kalau kamu satu departemen sama dia, bakal lebih mudah buat ngontrol situasinya. Lagipula dia kenalnya sama kamu 'kan? Dan saya yakin dia pasti lebih mau dengerin perintah kamu ketimbang yang lain."

Aku tidak bisa menjawab, terpaksa mengiyakan perintah itu tanpa protes lagi. Setelah mengurus beberapa dokumen dan memberi laporan keuangan yang tadi kudapatkan, Hans memperbolehkanku keluar. Dari sana aku sudah mulai merasa lemas. Inikah balas budi sesungguhnya yang kuberikan pada Tante Nadja?

Setelah meninggalkan ruangan Hans, aku kembali ke departemen pemasaran. Ada sisa beberapa menit sebelum rapat dimulai, aku ingin pergi ke toilet untuk membasuh muka. Dalam hati aku terus memikirkan kemungkinan – kemungkinan apa yang akan terjadi. Mungkinkah aku dan Arras dapat bekerja sama, atau setidaknya tampak normal dihadapan yang lain?

Keluar dari toilet, beberapa orang mulai berjalan kearah ruang meeting. Aku melihat Renata, dengan map birunya yang besar berlari kecil seolah takut tertinggal. Dengan segera aku menyusulnya, berharap dapat bicara secara pribadi sebentar sebelum rapat dimulai. Namun mungkin karena hari ini memang bukan keberuntunganku, pintu lift terbuka dan menampilkan siluet Hans. Semua orang menghambur menuju ruangan sehingga aku tak dapat melihat Renata lagi.

"Siang semua, mari kita mulai rapatnya."

Aku duduk di kursi yang telah disediakan. Mendadak merasa tersesat diantara suasana rapat yang hening. Aku tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang disampaikan, memandang layar projector dengan tatapan kosong. Lalu mengalihkan padangan pada jendela yang memantulkan matahari sore.

Dalam hati aku mengerang, bayangan anak itu terbesit dalam pikiran.

Arras, anak itu. Kuharap dia berhenti membuat perasaanku campur aduk.

***


Another NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang