2. Please Don't Cry

145 22 4
                                    

Sedari tadi Ana tak henti-hentinya melihat layar ponsel miliknya. Saat ini Renaldo sedang meneleponnya namun Ana tak tahu harus berbuat apa.

Sudah terhitung satu minggu setelah kejadian di taman waktu itu, Ana masih belum bisa melupakan Renaldo sampai saat ini. Renaldo memang tidak pernah menemui Ana, namun ia sering kali menghubungi Ana dan itu membuat Ana menjadi bimbang. Disatu sisi, Ana sangat ingin menjawab panggilan itu karena jujur saja, Ana sangat merindukan Renaldo. Namun disisi lain, hati Ana selalu bertekad untuk mengabaikan panggilan itu.

Ana mendesah beberapa kali, segalanya terasa sangat berat untuk Ana. Seandainya Nyonya Asgar merestui hubungan mereka, tentu saja hal ini tidak akan menjadi berat untuk Ana maupun Renaldo.

Ana kembali melihat layar ponselnya, nama Renaldo masih tertera di sana. Ana meremas ponselnya, sebelum akhirnya menekan tombol merah untuk menolak panggilan itu.

Setelah menolak panggilan dari Renaldo, Ana memutuskan untuk meninggalkan ponsel di kamar, kemudian berjalan ke ruang tengah untuk menemui orangtua dan kakak laki-lakinya. Hari ini akan diadakan rapat keluarga yang akan membahas keinginan Ana untuk tinggal dan bekerja di luar negeri. Ana berharap ia bisa melupakan Renaldo dan memulai kehidupan barunya di negara lain.

Kedua orang tua Ana sudah mengetahui penyebab berakhirnya hubungan Ana dengan Renaldo, dan mereka turut sedih mendengar berita itu. Selama ini mereka telah menganggap Renaldo sebagai anak mereka sendiri, mereka sangat menyayangkan hubungan Ana dan Renaldo yang kandas karena tidak mendapatkan restu dari Nyonya Asgar.

"Ana, kemarilah. Kita harus berdiskusi sekarang," ucapan dari Mrs. Wenn--Ibu Ana--menyadarkan Ana dari lamunannya.

"Baiklah, Mom," ujar Ana sambil berjalan ke arah ibunya, kemudian duduk di sofa.

"Kakakmu dan daddy sedang dalam perjalanan menuju rumah. Mereka akan sampai sebentar lagi."

Ana mengangguk. Ia bingung harus membicarakan hal apa dengan ibunya. Sejenak suasana menjadi hening, sampai akhirnya deru mobil milik Ayah Ana terdengar di luar rumah.

"Sepertinya mereka sudah datang."

Ana kembali mengangguk, ia membenarkan ucapan ibunya.

Terdengar derap langkah kaki memasuki ruang tengah. Ana terdiam saat melihat ayahnya--Mr. Briant--memasuki ruangan. Mr. Briant berhenti tepat di hadapan Mrs. Wenn. Ia mengecup kening Mrs. Wenn dengan penuh kasih sayang. Sejenak, mereka seperti melupakan kehadiran Ana. Ana berdehem, berusaha menarik perhatian mereka.

"Ohh, hai, Ana. Kau sudah lama menantikan aku dan Gilbert?" tanya Mr. Briant. Ia tampak sedikit salah tingkah.

"Hai, Dad. Tidak juga, aku baru saja keluar dari kamar." balas Ana sembari tersenyum kaku.

"Hai, Ana. Halo, Mom!" sapa Gilbert dengan membawa tiga kotak pizza. "Ini semua adalah pizza dengan menu yang berbeda," ujar Gilbert sambil mengangkat kotak pizza yang dibawanya.

"Hei, siapa yang akan menghabiskan semua itu?"

"Tentu saja kau, Ana. Kau pikir siapa yang menyukai pizza di rumah ini selain dirimu?"

"Apa? Aku? Aku memang menyukainya tapi aku tidak mungkin menghabiskan semuanya."

"Jangan bercanda, Ana. Kau pasti akan menghabiskan semuanya. Kau ingin bertaruh?"

"Baiklah, kita taruhan! Jika aku tidak menghabiskan pizzanya, apa yang akan kau berikan kepadaku?" tanya Ana dengan nada menantang.

Gilbert meletakkan tiga kotak pizza itu di atas meja, kemudian mengangkat bahunya dengan acuh. "Apa yang akan kuberikan? Bagaimana kalau aku membelikanmu lima kotak pizza lagi? Tawaran yang adil 'bukan?" Gilbert tertawa.

Listen To My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang