Bab 2 - Rencana Elliot

10.4K 693 22
                                    

Esmeralda tengah memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Sudah lama ia tidak bercermin seperti ini, mengamati wajah tirusnya, kulitnya yang seputih susu, manik mata yang hazel keemasan, hidung mancung, dan bibirnya yang merah merekah tanpa harus dipoles gincu. Ia terus mengamati wajahnya yang begitu mirip mendiang ibunya, Lydia. Hanya saja rambut merahnya yang berbeda.

Mata Esme beralih pada rambut bergelombang yang sedang disisir oleh Matilda. Rambut merah yang berkilau itu begitu halus, melengkapi paras cantiknya.

"Matilda," panggil Esme tiba-tiba.

Wanita muda yang sedikit lebih tua dari Esme itu menatap majikannya dari pantulan cermin sambil tersenyum. "Ya, My Lady," ucapnya.

"Bagaimana menurutmu tentang penampilanku?" Esme meminta pendapat.

Matilda sedikit terkejut dengan pertanyaan Esme yang tidak pernah terlontar itu.

"Anda sangat cantik dan menawan. Semua pria yang melihat Anda pasti akan jatuh cinta pada pandangan pertama," pujinya.

"Apa itu hanya pujian untuk menyenangkanku?"

"Tentu tidak. Saya yakin semua orang akan berkata demikian."

"Jika aku seorang pria, apa aku juga tampan dan menawan?"

Matilda kembali terkejut. Ia berdeham lalu menjawab setenang mungkin.

"Kurasa tidak, My Lady. Anda ditakdirkan cantik dan menawan hanya jika Anda seorang wanita." jawabnya percaya diri.

Tawa Esme pun pecah. Sungguh pelayan pribadinya ini sangatlah menarik.

"Inilah yang membuatku menyukaimu, Matilda." ucap Esme di sela tawanya. Sifat Matilda yang percaya diri dan selalu berterus terang itu sangat dikagumi Esme.

Ia juga belajar tentang bagaimana berlapang dada dengan semua keadaan dari sosok Matilda. Esme sadar berandai-andai yang sering dilakukannya seperti sekarang ini adalah hal yang sia-sia. Namun, terkadang ia butuh itu untuk melepas penat di kepalanya.

Matilda hanya tersenyum senang melihat tawa majikan yang jarang dilihatnya.

Tak beberapa lama, senyum Esme memudar. Ia menghembuskan napas panjang.

"Jika aku terlahir sebagai seorang pria, tentu semua ini akan berjalan mudah. Gelar itu akan jatuh padaku, tidak pada orang yang salah. Papa juga tidak akan menderita seperti ini. Menurutmu, aku harus bagaimana, Matilda?" kata Esme dengan suara pelan.

Matilda mengusap bahu Esme dan tidak mengatakan apapun. Ia sadar pertanyaan ini di luar jangkauannya yang hanya berstatus sebagai pelayan. Ia hanya bisa menghibur Esme dan memberi dukungannya, tidak lebih dari itu.

"Sarapan Anda sudah siap, My Lady," ujar pelayan wanita yang berada di luar kamar.

"Baiklah, aku akan segera turun."

.

.

***

.

.

"Di mana Elliot?" tanya Esme pada Robin, seorang butler yang saat ini berada di ruang makan, tempat Esme menyantap sarapan.

Sejak tadi ia menunggu kehadiran sang paman yang tidak menunjukkan batang hidungnya. Sudah hari keempat ia mencoba bertemu dengan Elliot untuk menanyakan banyak hal. Tentu tentang segala kecurigaannya. Ia perlu memastikan dari mulut pria itu. Namun, sampai sekarang, Elliot sukar sekali ditemui.

'Apa mungkin pria itu menghindar dariku?' batin Esme.

"Sir Lewis sedang berada di perpustakaan, My Lady." jawab Robin.

Sang Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang