-----
."Jika kau tahu itu, mengapa kau diam saja?" tanya pria itu kesekian kalinya. Air mata pun jatuh di pipinya. Ia menangis. Dadanya sungguh terasa sakit.
"Mengapa kau tidak melawan?" bisik pria itu disela tangisnya.
"Mengapa kau diam saja? ... mengapa kau tidak melawan pria itu?" ulangnya lagi.
Wanita yang berada di depannya masih memalingkan wajah - terdiam, enggan menjawab.
Kedua tangan pria itu mencengkeram kuat sementara kepalanya masih tertunduk. "Mengapa ... mengapa?" rintihnya.
Lalu tiba-tiba pria itu mengangkat kepalanya - menatap sang wanita. "Lalu apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan padamu?" teriak pria itu dengan raut putus asa.
Wanita itu tersentak. Ia lantas menatap pria itu tajam. "Aku tidak berdaya. Aku tidak bisa menolak. Aku tidak tahan dengan semua godaan itu -" ucapnya menggebu-gebu.
"Se ... semua itu ulahnya! Semua ini karena pria itu! Dialah yang menggodaku!" lanjut sang wanita kemudian tatapannya melunak berubah menjadi isakan. "Katakan ... apa yang bisa dilakukan seorang wanita lemah sepertiku?" kata wanita itu sambil menangis keras.
Pria itu menatap sang wanita dengan sendu. "Aku pernah mengatakan padamu, jangan pergi jauh-jauh dariku! Jangan lepas tanganku! Tetaplah di sisiku! ... aku telah mengatakan itu berulang-ulang--" ucapnya terpotong. Pria itu memejamkan matanya sambil menarik napas panjang. Tidak ada yang tahu tentang seberapa sakitnya hati pria itu sekarang - termasuk kekasih hati yang berada didepannya ini.
"--dan kau ... kau telah pergi ke tempat di mana aku tidak bisa menggapaimu ... kau-- kau begitu jauh," ucap pria itu dengan suara bergetar. Tubuhnya pun roboh. Ia berlutut di hadapan sang wanita dengan pandangan kosong. Kekasih hatinya, wanita pujaannya, belahan jiwanya telah berkhianat.
Wanita itu menggenggam tangan pria itu. Ia ikut berlutut - menyejajarkan wajahnya dengan sang pria. "Tidak! Itu tidak benar. Aku tetap milikmu. Hatiku masih di sini," ucap wanita itu sambil memeluk sang pria. Pria itu tidak bergeming. Wanita itu memeluknya hangat tapi ia merasa hampa.
.
"Aku masih di hatimu, Alan."
.
***
.
.
Seketika Alan bangun dari tidurnya. Ia lantas tersenyum sekilas. Ia tidak dapat memungkiri hal itu masih saja membekas di pikirannya. Itu bukanlah mimpi, melainkan ingatannya. Ingatan lampau bahwa ia adalah pria itu.
Alan merasakan ranjangnya bergerak. Ia baru ingat dua hari lalu, seorang gadis telah dinikahinya. Gadis yang telah menjadi istrinya itu benar-benar berambut merah - seperti yang dikatakan banyak orang. Ia hampir tidak percaya, putri dari seorang duke menerimanya - alih-alih menerima lamaran seorang pangeran.
Alan melirik istrinya yang masih terlelap. Wajah gadis ini damai ketika tidur. Parasnya begitu cantik dan polos, seperti domba putih - domba putih yang tidak menyadari banyak serigala mengincarnya.
Alan terkekeh karena pikirannya yang menyamakan istrinya sendiri dengan seekor domba.
Nyatanya, gadis itu memang benar akan menghadapi masalah. Kabar itu datang dari Vincente Lorentz yang kemarin berbincang dengan Alan. Nama Countess of Ellworth kini amat terkenal berkat penolakannya atas lamaran sang Pangeran Albert. Entah ia sadar atau tidak, yang jelas gadis itu telah membuat Alan kerepotan hanya karena menikahinya. Alan pun tidak habis pikir mengapa ada wanita yang memilih seorang earl dari kota kecil dibandingkan seorang pangeran dari kerajaan besar. Itu sama saja memilih domba tua nan kurus di antara domba gemuk yang penuh wol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Belahan Jiwa
Historische fictieLady Esmeralda Campbell adalah seorang wanita berambut merah yang cantik menawan. Ia begitu mencintai ayahnya, Duke of Alston melebihi apapun setelah trauma yang dideritanya karena kematian sang ibu, Lady Lydia. Richard, sang ayah, sangat khawatir d...