"Baru sekali aku mendengar Alan mengatakan itu pada seorang wanita." Perkataan itu seakan terputar kembali di benak Esme. Sambil terbaring di ranjang, ia memerhatikan pintu kamarnya yang tidak tertutup sempurna.
Ia pun tidak yakin saat mengingat senyum ibu mertuanya yang palsu itu. Yang ia yakini adalah Elizabeth mengatakan semua itu hanya untuk menghiburnya saja, dan tentu tidak ada kebenaran di dalamnya. Nyatanya, ia sudah melalui banyak hal yang membuktikan adanya wanita lain yang masih membayangi Alan.
Gadis itu kembali termenung memikirkan percakapannya dengan Elizabeth. Entah mengapa ketika melihat wanita itu -- yang selalu menunjukkan kecemasannya -- ia jadi teringat dengan kedua orang tuanya yang sangat ia sayangi itu. Sedang apakah ayahnya di kediaman yang besar itu? Apa dia makan dengan teratur ketika putrinya tidak ada di sisinya? Sungguh jika Esmeralda bisa, ia akan berlari menemui Richard, ayahnya -- meninggalkan Ellworth yang belum bisa membuatnya bahagia. Tapi jika sekarang dia pergi dari sini dengan alasan rindu kepada ayahnya, tentu ia tidak akan bisa memasang wajah di hadapan ayahnya sendiri. Ia tidak bisa mengingkari janji. Ia tidak bisa mengecewakan Richard. Yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha bertahan di kediaman ini dan berpikir positif bahwa ayahnya di sana akan baik-baik saja.
Esme lantas mendesah pelan saat cahaya yang keluar dari celah pintu itu mengganggu pandangannya. Ketika sedang terburu-buru, Holly selalu lupa menutup rapat pintu kamar. Mungkin ia akan mengingatkan gadis itu untuk tidak mengulanginya. Esme kemudian beranjak dari ranjang hendak menutup pintu itu. Dari celah pintu ia mendapati Colin mengetuk ruang kerja sang Earl sambil membawa nampan. Sudah selarut ini, tetapi Alan masih berkutat dengan pekerjaannya. Pria itu memang tidak kenal lelah setelah apa yang dialaminya seharian tadi.
Setelah Colin memasuki ruangan Alan, Esme segera menutup pintunya. Tubuhnya yang lelah sudah tidak bisa diajak berkompromi. Ia butuh istirahat.
.
.
***
.
.
"My Lord, bukankah sebaiknya Anda memanggil dokter?" usul Colin saat melihat tuannya membenarkan posisi kemeja. Barusan butler itu membantu Alan memasang perban di punggungnya.
Alan melirik Colin sekilas kemudian beralih memasang kancing. "Tidak perlu," balas Alan singkat.
"Tapi, kita bisa mengetahui separah apa luka Anda, My Lord. Bukankah pencegahan lebih baik?" bujuk Colin dengan raut cemas.
"Aku tahu kekhawatiranmu. Tetapi tidak selama Dowager masih ada di sini. Jangan sampai dia mengetahui kejadian di Norfolk itu," ucap Alan yang terdengar seperti perintah.
Colin terdiam sejenak sebelum menanggapi ucapan yang seperti perintah dari tuannya. Ia begitu khawatir dengan luka memar Alan yang mulai membiru akibat jatuh dari jurang waktu itu. Setiap malam, ketika semua orang di kediaman sudah tertidur, ia akan dipanggil untuk mengganti perban di punggung Alan.
Alan menatap --masih menunggu respon Colin-- "Baik, My Lord," ucap Colin kemudian.
"Aku ingin kau menyelidiki siapa dibalik semua ini. Lakukan secara tersembunyi dan jangan sampai orang lain tahu tentang hal ini!" perintah Alan lagi.
.
.
***
.
.
Santapan pagi telah terhidang di atas meja. Seperti malam itu, kini ada tiga orang yang duduk di sana. Tentunya Alan, Esmeralda, dan Lady Elizabeth yang hadir di kediaman Ellworth sepulang dari kampung halamannya di Swiss. Sungguh aneh tidak ada obrolan hari ini. Ibu mertua Esmeralda yang biasanya terlihat sumringah dalam hal berbincang, sekarang memilih diam menikmati telur setengah matang dengan roti bawang. Sementara Alan, tidak ada yang aneh darinya. Sejak Esmeralda mengenalnya, sikapnya memang diam seperti itu di meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Belahan Jiwa
Fiction HistoriqueLady Esmeralda Campbell adalah seorang wanita berambut merah yang cantik menawan. Ia begitu mencintai ayahnya, Duke of Alston melebihi apapun setelah trauma yang dideritanya karena kematian sang ibu, Lady Lydia. Richard, sang ayah, sangat khawatir d...