1: Fate

32 2 0
                                    

Setahun setelah kejadian penumpahkan es jeruk, Revano tetap saja mengingat bagaimana paras gadis itu. Entah kenapa, suara gadis itu seakan terngiang-ngiang di telinganya. Belum lagi manik hitamnya melekat kuat tanpa ingin lepas dari ingatan Revano.

Hari ini adalah upacara penerimaan murid baru. Sebenarnya ia harusnya masih berbaring di kasur empuknya, berleha-leha, tapi jabatannya sebagai ketua ekskul basket menuntutnya masuk ke pekarangan sekolah mengenalkan ekskul basket pada murid-murid baru yang baru saja menginjakkan kakinya masa putih-abu-abunya.

Ia mengedarkan pandangannya. Para murid baru perempuan tampak centil. Cabe, pikir Revano, ah ia tak ingin terlibat dalam drama percintaan di masa putih-abu-abunya. Ia lebih memilih menyibukkan diri dalam ekskul basketnya ketimbang mencari pacar. Lagipula, hatinya tertambat pada mahluk imut sebulan lalu yang ia temui.

“Revano! Sini!” Farrel melambaikan tangannya. Pemuda berambut cepak itu adalah ketua ekskul futsal. Sejujurnya, Revano tak begitu akrab dengan Farrel. Tapi apa daya, ia tak mengenal satupun orang disini.

“Van, lo kan ket—“ belum selesai pemuda itu bicara, Revano memotong, “jangan panggil gue ‘Van’ gue berasa cewek,” ia memijat pelipisnya lelah menghadapi Revano.

“Oh ayolah, lo memotong dengan cantik. Jadi gini Revano, lo ‘kan ketua ekskul basket, so pasti elu dikelilingin banyak cewek, kenalin ke gue satu donk,” sekilas pipi Farrel memerah. Revano mendengus keras. Matanya menyapu lapangan. Merasa ada satu yang mencolok, ia memanggilnya, “dek! Sini deh!” mata Farrel melebar.

“Ya, Kak, ada apa?” gadis itu menggandeng cewek lain. Kini giliran Revano yang melotot kaget, setelah berhasil mengontrol ekspresi wajahnya, Revano berdeham kikuk. “Neh, ada yang mau kenalan sama elo,” wajah gadis di sebelahnya datar, sedatar papan triplek.

Gadis dengan wajah cantik itu mendengus, “sorry ye, Kak, gue udah punya pacar, nih, sama temen gue aja ya,” ia menyodorkan tangan gadis berwajah datar di sebelahnya, “gak deh makasih,” jawab Farrel tersenyum tak enak melihat wajah temannya yang terkesan dingin, ia kembali berucap, “gue gak suka yang tampang triplek gitu.”

Gadis itu terdiam, ia memang terkesan dingin, tapi pemuda itu mengatakannya seolah gadis itu tak mempunyai hati. Gadis di sebelahnya menaikkan sebelah alisnya tak suka, “yuk, Charlaine,” ajak gadis tadi. Membuat gadis yang dipanggil Charlaine itu dengan senang hati mengikuti langkah Aleena.

Setelah beberapa menit terdiam, Aleena membuka pembicaraan, “jangan dimasukin ke hati ya, Charlaine,” ia menatap iba ke arah Charlaine, Charlaine mengangguk pelan.

Ia memang sangat pendiam, karena satu hal, dan ia hanya akan bicara jika perlu, maka dari itu, Charlaine kurang mempunyai teman.

Dalam hati terdalam, Charlaine mengutuk kedua senior tadi. Ia takkan mau berurusan dengan kedua pemuda anonim tadi. Apapun yang terjadi. “Char, Charlaine?” tangan putih yang Charlaine yakini milik Aleena melambai di depan wajahnya. Charlaine menoleh seolah mengatakan ‘apa?’

Alih-alih menjawab, Aleena terkikik pelan, “udah disuruh baris, yuk,” ia berjalan beriringan dengan Aleena. Sejujurnya, ia tak percaya diri berjalan dengan Aleena yang bak model sementara dirinya hanya manusia tak dianggap.

***

Setelah seharian berkutat dengan para senior yang sikapnya berbagai macam. Mulai dari yang centil hingga yang tomboy tapi cantik pun ada terlihat berkeliaran di dalam sekolah. Charlaine tak pernah bersyukur lebih daripada ini, ternyata di SMA Harapan Negara, tak diberlakukan ospek bagi calon murid baru, sehingga Charlaine tak perlu dipermalukan.

Dan tebak, Charlaine kembali bertemu dengan dua senior menyebalkan itu. Kedua senior itu ternyata ketua klub basket dan futsal, tapi namanya tak Charlaine dengar karena sibuk dengan pemikirannya tentang masa SMA nya.

Because of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang