Seminggu berselang, Revano tetap keras kepala menjemputnya di rumah. Jujur saja, Charlaine risih dengan kebiasaan Revano.
Memang sih, dia tidak membawa motornya ugal-ugalan, tapi tetap saja Charlaine benci kenyataan bahwa ia seperti pacar dari Revano.
Meskipun risih ia tak berani menolak, mengingat sifat tempramental milik Revano, bisa saja 'kan, karena kesal ia memukuli Charlaine? Ugh, khayalannya terlampau tinggi membuat bulu romanya berdiri.
Pagi ini, dengan segenap tekadnya, ia berencana kabur dari 'penjemputan' Revano. Walaupun ia tak yakin ini akan berhasil mengingat sudah seminggu pemuda jangkung itu menjemputnya. Sekarang, jam masih menunjukkan pukul empat lewat empat puluh lima pagi dan Charlaine sudah siap pergi ke sekolah. Ia menggendong tas ransel biru mudanya.
"Ma, Cher berangkat ya," pamitnya setengah teriak, sebab ibunya masih berada di kamar. Setelah mengenakan jaketnya, lalu mengunci pintu dari luar, Cher berangkat.
Oh, hei! Ini kelewat pagi, lihat saja rumah di kompleks tempat Charlaine tinggal masih sepi. Lampu jalan remang-remang ditambah pohon rimbun. Ia berharap takkan ada preman yang lewat di kompleks sepi ini.
Yah, meskipun ia dibekali ilmu bela diri, tetap saja tenaganya pasti akan kalah. Lima menit berjalan menembus kabut dan sepi, Charlaine akhirnya berada di ujung kompleks perumahannya. Tangannya dicegat orang lain dan mulutnya dibekap. Uh, ini jelas bukan pertanda baik.
Otaknya berputar cepat seiring keringat dingin yang meluncur bebas dari dahinya. Ia berteriak dalam hati, andai ia bersama Revano saja berangkatnya, pasti kasusnya tak akan seperti ini. Tangan bertatto seram yang ia yakini milik preman itu masih setia membekap mulutnya. Ah-ha! Ia gigit tangan besar itu lalu menendang tulang kering preman itu menggunakan ujung sepatunya
Ia berbalik menghadap preman tadi. Uh-oh, wajah preman itu ternyata sangat seram dengan bekas luka yang seperti tatto alami. Wajahnya yang memang menyeramkan tambah menyeramkan ketika ia mengeluarkan pisau lipat dari dalam sakunya. "Dasar anak kecil sialan, gue padahal Cuma mau ngajak main lo, tapi elu songong ya," ia menyeringai jahat lalu berusaha menusukkan pisaunya ke perut Charlaine.
Charlaine menutup matanya ngeri. Selamat tinggal dunia, selamat tinggal Mama, selamat tinggal-
BRUGH!
Selang satu centimeter pisau itu dengan perut Charlaine, Revano datang seperti pahlawan super hanya saja ia mengenakan seragam. "JANGAN BERANI SENTUH DIA!" Revano kembali melayangkan pukulan di wajah songong preman itu.
Seakan belum puas dengan wajah preman itu yang babak belur, Revano kembali memukuli preman itu. Tuang kering preman itu yang tadi Charlaine tendang, Revano pijak hingga mengeluarkan bunyi mengilukan. Charlaine cukup yakin, tulang kering preman itu pasti patah, atau bahkan muungkin retak.
Masih belum puas, ia memelintir preman itu, tapi anehnya preman itu tak melawan, hm, mungkin preman itu suruhan Revano. Tapi, kalau orang suruhan, tak mungkin Revano melawannya hingga babak belur beneran seperti itu.
Masih asik dengan lamunannya, suara seperti tulang patah kembali terdengar. Charlaine yakin, preman itu pasti hanya modal nekat untuk menjadi preman. Huh.
"Hei, lo mau mukulin dia sampai kapan? Dia sudah pingsan tau!" pekik Charlaine gemas ketika sadar Revano tak kunjung berhenti menorehkan 'mahakarya'nya.
Revano akhirnya bangkit berdiri. Jika di perhatikan tangannya sedikit mengeluarkan darah. Hei! Itu bukan sedikit tapi banyak malah sangat banyak, pasti itu karena pisau laknat yang preman tadi bawa."Ke rumah gue aja ya," ia melihat ke arah jam tangannya di tangan kirinya.
"Gak, ke sekolah aja, UKS pasti udah buka," Revano sedikit tersentak saat, Charlaine malah menariknya ke arah rumahnya. Dia terlihat kesal. Sesampainya di rumah Charlaine, Vanessa, ibu Charlaine tampak tergopoh-gopoh menghampiri mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because of You
Teen FictionKarena kamu, Revano jatuh. Jatuh cinta. Akankah kamu membiarkan dia jatuh lebih dalam ke pelukanmu? "Aku memang menolak awalnya, tapi, ternyata dia mampu membuatku lupa akan traumaku." -Charlaine Gienna Hearts- "Kami memang manusia dengan beribu ke...