Hinata duduk dengan santai, menunggu dengan sabar sampai kakaknya selesai mengikat rambut. Karena ia tidak diberi izin memotong rambut, Sasuke dengan senang hati mengikat berbagai model untuk adiknya. Seperti hari ini, dia mengikat separuh dan diberi sebuah pita berwarna biru.
"Selesai," pemuda itu memberikan cermin. Hinata melihat hasil yang tidak begitu buruk. "Cuaca sedang baik dan akan segera memasuki musim gugur," kata Saske. "Sampai musim dingin berakhir, kulitmu pasti akan baik-baik saja."
Gadis itu tersenyum semringah, tidak sabar menanti kedua musim itu. Sehingga ia tidak perlu repot menggunakan tabir surya, terkadang di saat musim dingin Hinata selalu menggunakan pakaian sedikit terbuka. Meskipun tidak memakai syal atau topi, ia justru tidak merasakan kedinginan sama sekali.
"Kakak," Sasuke menoleh, ia beranjak dan meletakkan sisir di atas meja rias. "Apa kau tidak pernah berpikir untuk memiliki kekasih?" Hinata berdiri, merapikan pakaiannya. Lalu menerima tas yang telah disiapkan lebih dulu. "Di antara banyak anak perempuan yang mengejarmu, tidakkah ada salah satu di antara mereka yang membuatmu tertarik?"
Pemuda itu mengernyit bingung, pembahasan ini terlalu mendadak. "Kenapa tiba-tiba? Apa ada seseorang yang membuatmu jatuh cinta?"
"Tidak," sanggah Hinata. Ia menghela napas, ternyata sangat sulit jika mereka membahas hal seperti ini. "Aku ingin kau bahagia, bebas berteman dengan siapa pun." muram durja berganti, bukan bermaksud berkecil hati. Namun ia merasa kehidupan kakaknya tidak seperti anak remaja lain.
Di usia mereka yang menginjak enam belas tahun harus hidup mandiri, Sasuke menjadi tulang punggung demi menghidupi kebutuhan hidup. Meskipun mereka mendapatkan uang bulanan dari paman, tetapi saudara kembarnya sangat keras kepala.
"Aku tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal seperti itu."
"Apa karena kau mengkhawatirkanku?"
Sasuke bergeming di tempat, bermaksud ingin mengabaikan. Tetapi ekspresi di depannya seperti menuntut sesuatu darinya. Ia tidak bisa diam saja ketika melihat ini, oleh karena itu ia terkadang harus menyusun kata lebih dahulu sebelum membuka suara. Namun bibir terasa kelu, seolah-olah baru saja terhantam masa lalu. Ini membawa kenangan buruknya terhadap sang mantan kekasih.
Dulu, ia pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis Filipina. Tepat di hari jadian mereka keseratus, pada akhirnya memilih berpisah. Tidak bisa memilih, tentu yang merupakan prioritas utama adalah saudara kembarnya sendiri. Terlebih sang adik lahir memiliki penyakit yang jarang dimiliki oleh orang lain.
Dia tidak pernah menyesal karena hubungan itu berakhir, meskipun ada perasaan sakit yang terselip di dalam hati. Namun ia sadar untuk tidak berlarut dalam kesedihan mendalam. Mereka mengakhiri hubungan dengan cara yang tidak baik, mungkin hal ini yang membuatnya malas untuk menjalin hubungan kembali.
"Aku akan sangat senang jika kau memiliki kekasih," kata Hinata. "Agar aku bisa bercerita banyak padanya. Tidak ada orang yang akan menyesal jika dia bersamamu, aku menjamin itu!" kedua bola matanya berbinar, menampilkan sorot mata yang begitu semangat.
Sasuke tergelak menanggapi, lalu menepuk dahi adiknya. "Jangan berlebihan," pandangan mereka bertemu. "Kalau begitu ... jika aku memiliki kekasih, sepertinya aku harus meminta pendapatmu lebih dulu."
◊◊◊◊
Muram durja berganti, tidak dapat menyembunyikan perasaan ini. Bertemu dengan guru di koridor merupakan hal yang menyebalkan bagi Sasuke, belum lagi dipertemukan dengan guru yang suka menyuruh muridnya.
"Bantu aku membawa buku ini," menghindar tidak ada gunanya. Ia hanya dapat pasrah ketika tumpukan buku berpindah ke tangannya. "Sisanya masih ada di sana." tunjuk Kakashi. Di sana ada Naruto tengah repot membawa buku, pemuda pirang itu serupa kesal dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Twins
FanfictionKarena Hinata memiliki penyakit xeroderma pigmentosum dan fotofobia, sehingga membuatnya terlambat masuk sekolah setahun dari saudara kembarnya, Sasuke. Statusnya sebagai saudara kembar Sasuke, tidak ada yang tahu. Sehingga membuat orang salah paham...