[13] SWEET TWINS

7.1K 659 30
                                    

Tidak mengingat begitu baik kapan terakhir kalinya ia berkunjung ke rumah mantan kekasihnya. Seingat Sasuke ketika mereka berpisah, tidak ada lagi satu kata pun yang terdengar. Hilang bagai ditelan bumi, pula sibuk dengan urusan masing-masing. Karin, sang mantan kekasih yang ia tahu pergi ke Brazil. Tetapi tidak pernah tahu kapan gadis itu akan kembali.

Karin menerima seragam yang sudah dilipat rapi dari pelayan. Hendak memberikan pada pemuda itu, namun tangan belum juga terulur untuk menerima. Tidak ada kontak mata, menunduk seolah-olah menghindar. Sampai seragam itu jatuh ke lantai, Sasuke baru memungutnya kemudian.

Suasana dua kali lipat lebih canggung dari sebelumnya. Karin bukan sengaja melakukannya. "Sepertinya kau benar-benar kesal padaku ya, Sasuke?" tidak mengindahkan, pemuda itu acuh tak acuh memandang.

"Kami akan segera pulang." kata pemuda itu, memilih memakai kembali seragam di depan tanpa merasa malu. Sementara sang adik sudah berganti baju di lain tempat. Ketika melihat kehadiran adiknya, ia langsung menarik tangan itu agar menuntun segera keluar mengikuti.

Tidak bisa dihindari kalau ini tidak sopan, Hinata menatap bergantian. Sedangkan Karin merespons datar, tahu bagaimana terkadang sifat menyebalkan itu keluar dari mantan kekasihnya.

"Astaga ...," ia menghela napas, suara dari pintu menandakan anak kembar itu telah pergi. "Anak itu benar-benar merepotkan." kembali memandang, tapi tidak mendapatkan apa-apa selain pintu tertutup.

"Padahal kita bisa berbicara baik-baik. Egomu mungkin terlalu besar hari ini."

◊◊◊◊

Memiliki fisik yang lemah merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Ketika teman-temannya mengikuti kelas olahraga dengan semangat, Hinata memilih berbeda barisan. Pula terkadang guru melarangnya untuk ikut bergabung, dan menetap di kelas. Ia bahkan tidak menggunakan seragam ganti seperti anak lainnya. Guru di sekolah yang sudah mengerti, memilih mengabaikan. Meskipun begitu ia tetap mendapatkan tugas setiap kali pelajaran berlangsung.

Menyeimbangkan langkah kaki kakaknya tengah marah bahkan sulit. Ia tidak bisa menolak saat pergelangan masih ditarik. Dahi itu bahkan penuh keringat, muka merah padam, pula dengan napas yang tidak beraturan. Tidak tahan lagi, ia menepis pada saat mereka di pertengahan trotoar jalan. Sasuke refleks mengalihkan wajah untuk menatap, lalu timbul perasaan bersalah.

Muram durja berganti, memandang penuh penyesalan pada adiknya. Satu hal yang menyebalkan saat emosi menyelimuti ̶ ̶ pikiran tidak tenang ̶ ̶ bertindak semaunya tanpa mengindahkan seseorang.

"Maafkan aku." nada suara itu terdengar lirih. Hinata melirik dari ujung mata, lalu menggeleng kepala.

"Tidak apa, aku mengerti apa yang kau rasakan," katanya, sembari menerima satu botol air yang diberikan. Meneguk setengah, lalu menghela napas lega. "Kau tidak perlu sampai canggung dan meninggikan egomu, bukan?" Hinata mencoba untuk merendahkan suaranya ̶ ̶ satu hal yang dilakukan agar saudara kembarnya dapat tenang. Selain memiliki temperamen dan sifat dingin, ego merupakan hal yang sulit dihilangkan.

"Sepertinya dia ingin berbicara denganmu baik-baik. Atau mungkin ada sesuatu yang tidak kalian selesaikan dengan baik bersama?"

Itu kalimat retoris, menganggap demikian demi menguat tebakan yang ada dalam pikiran. Mencoba untuk berdalih, padahal hanya ingin melihat sifat jujur di sini.

"Dia gadis baik," gumam Hinata. "Aku memang tidak pernah melihatmu dengan gadis lain setelah kau putus darinya. Apa kau masih memiliki perasaan padanya, Kakak?"

Sasuke menoleh, pandangan mata mereka bertemu ̶ ̶ seolah-olah saling membaca. Adiknya tidak akan menelusuri lebih dalam tentang perasaannya, karena Hinata bukan tipe orang dan tahu batasan dalam bertanya maupun bertindak. Meskipun mereka saudara kembar, tidak perlu terkadang berdalih. Karena saling memahami adalah hal yang mudah.

Sweet TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang