Terhitung sebanyak sepuluh kali mengganti air bersih dalam ember, namun suhu tubuh pemuda itu belum juga turun. Ia mendesah kecewa saat melihat termometer di tangan, panik menyelimuti ketika angka semakin tinggi.
"Aku harus membeli obat." gumamnya. Melirik ke arah jam di dinding, bukanlah waktu yang tepat untuk keluar dini hari. Pula tidak begitu yakin apotek masih buka, kecuali rumah sakit. Hinata kembali memeriksa keadaan, wajah Sasuke benar-benar merah.
Tidak bisa berpikir dengan baik, hingga bertindak sebelum berpikir. Ia siap untuk keluar rumah demi membeli obat, setidaknya satu malam ini panas itu turun.
"Tidak perlu," pergelangan tangan itu ditahan ketika ia hendak keluar. Pandangan mata mereka bertemu sesaat. "Aku akan segera sembuh, jangan khawatirkan apa pun." Sasuke mencoba meyakinkan, meskipun tubuhnya tidak selaras dengan perkataannya. Melihat lurus tidak begitu jelas, napas terasa panas, lalu pusing sampai ke ubun-ubun.
"Di saat seperti ini bukan waktu terbaik untuk kita berdebat," tahu bahwa ekspresi di depan itu siap melempar beberapa kalimat ketus. Pemuda itu berusaha tersenyum, mengangkat sudut bibir saja begitu sulit. "Percaya padaku ... aku akan baik-baik saja. Ini hanya demam."
Sulit diterima memang, Hinata tidak tahu harus merespons seperti apa. Tidak ada yang baik di sini. Kondisi kesehatan kakaknya adalah yang paling utama. Ia mencoba berpikir tenang, mengambil napas beberapa detik. "Baik ... aku tidak akan keluar," katanya. "Aku akan tetap terjaga untuk menjagamu."
Pandangan mata mereka bertemu kembali, sorot mata tajam dan ekspresi serius itu. Adiknya tidak bercanda, tetap keras kepala, pula memiliki teguh yang tinggi.
"Kau benar-benar keras kepala."
◊◊◊◊
Mata itu tidak pernah lepas dari layar ponsel. Berisi beberapa gelembung percakapan yang tidak terlalu penting. Tetapi tidak menampilkan balasan apa pun. Pesan kemarin yang ia kirim belum mendapat balasan dari temannya. Beberapa temannya juga melakukan hal sama, bahkan memilih menghubungkan panggilan karena merasa tidak sabar. Tetapi, tidak mendapatkan jawaban selain suara operator yang menambah rasa sakit kepala.
"Sial! Rasanya hampir seratus kali dia mengucapkan kalimat ini." Naruto menaruh kasar ponsel di atas meja hingga menimbulkan suara cukup berisik.
Sakura berlari menghampiri, mereka fokus pada gadis itu karena memasang wajah khawatir. "Adiknya juga tidak ada di kelas," kata gadis itu dengan napas tersengal-sengal. "Ketua kelas memberitahu kalau dia tidak memberikan kabar apa pun hari ini."
"Mereka berdua absen," gumam Shikamaru. Ia memandang kembali kursi kosong di kelas, karena duduk di depan, tentu terlihat kontras jika dilihat. Tahun kedua, pertama kalinya pemuda itu tidak hadir mengikuti pelajaran.
"Tunggu," Kiba menyela, merasa asing dengan apa yang ia dengar beberapa menit lalu. Sialnya, ia benar-benar terlambat untuk memahami. "Adik? Apa aku tidak salah dengar?"
Mereka bergantian memandang ̶ ̶ saling memberi kode agar mengalah untuk menjelaskan. Kini Ino bermuram durja, bahwa perlakuan teman-temannya begitu jelas. "Hei, tidak ada dari kalian yang ingin memberi tahu?" ia melempar tatapan peringatan pada sahabatnya ̶ ̶ tidak terima kalau ia ketinggalan berita penting.
"Singkatnya seperti ini ̶ ̶ kedua orang itu saudara kembar."
Kiba terperangah. Sesuai apa yang akan diterima oleh mereka, pemuda itu pasti memasang ekspresi berlebihan menanggapi. Sedangkan Ino bersikap santai, tetapi bibir itu terus bergerak ̶ ̶ seolah-olah berusaha mengeluarkan. Padahal gadis pirang itu bingung untuk menyikapi hal ini seperti apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Twins
FanfictionKarena Hinata memiliki penyakit xeroderma pigmentosum dan fotofobia, sehingga membuatnya terlambat masuk sekolah setahun dari saudara kembarnya, Sasuke. Statusnya sebagai saudara kembar Sasuke, tidak ada yang tahu. Sehingga membuat orang salah paham...