Sepasang mata emas mengikuti sesosok lelaki yang tengah berdiri di tengah deras dan dinginnya hujan. Lelaki itu menengadah keatas, membuat air hujan beberapa kali bercampur dengan cairan panas yang mengalir deras dari kedua mata biru lelaki itu.
"Sedang apa dia?" gumam si mata emas, masih memperhatikan sosok yang lebih kecil darinya itu.
Ia menunggu kurang lebih lima menit, tetapi yang diperhatikan masih tetap berdiri di tempatnya bersama tetesan hujan yang menghujam tubuh kecilnya.
"Dia bisa sakit kalau begini," gumamnya lagi. Dalam satu gerakan, dia menjatuhkan ranselnya dan berlari menembus hujan hanya dengan selembar kaus tipis dan jaket kulit.
"Zayn?"
"Lou, kau bisa sakit, c'mon."
Lou—Louis, hanya tersenyum kecil dan menggeleng. Ia tetap berdiri tegak disana hingga akhirnya, di tengah derasnya hujan dan angin dingin yang menusuk tulang, lelaki itu ambruk di atas kedua lengan yang dengan sigap menangkapnya.
"Maaf," bisiknya sebelum akhirnya kedua kelopak matanya tertutup.
*
Zayn menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Ia setengah mati menahan diri agar tidak berlari kearah sahabatnya yang tengah terbaring lemas di tempat tidurnya dengan pakaian bersih dan selimut yang menutupi dada hingga ujung kakinya.
"Semua gara-gara keparat itu," gumam Zayn dengan sengit. Giginya terkatup rapat.
"Harry,"
Zayn spontan menengok kearah Louis yang tengah mencengkram selimutnya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. Suara lelaki itu lirih dan serak, membuat Zayn memejamkan mata kuat-kuat, mati-matian menahan rasa perih di dadanya.
Menarik nafas, Zayn membawa tangannya dan menangkap tangan Louis dengan tangannya sendiri. Ia perlahan mencium pelipis Louis dengan lembut, berusaha menenangkan laki-laki yang sedang mengigau itu.
"Aku disini, Lou, tenanglah," bisiknya.
Mata Louis perlahan terbuka. Pandangan lelaki itu masih buram namun ia tersenyum lebar sekali. Zayn nyaris tersenyum balik, tetapi ketika sahabatnya itu berbicara, senyumnya luntur seketika.
"Harry,"
Zayn mengeratkan rahangnya ketika Louis kembali tertidur, mungkin karena ia berpikir ia sudah melihat orang yang dicintainya di hadapannya. Zayn perlahan melepaskan genggaman tangannya pada tangan Louis dan bangkit berdiri dan duduk di sofa yang ada di pojok kamar.
"Sial," gumamnya pahit.
Otak lelaki berambut hitam itu melayang ke kenangan yang tersimpan rapi di pojok ingatannya. Ketika ia pertama kalinya melihat tubuh bergetar Louis di pojok kamar, bersama dengan Harry—keparat yang dicintai Louis— yang sedang membentak lelaki itu dengan sengit.
Ketika tubuh Zayn refleks melindungi tubuh Louis dan ucapan marah Harry yang lontarkan pada kedua sahabat itu, ketika ia menyadari begitu banyak luka di tubuh mungil Louis dan hilangnya eksistensi Harry dari dalam kamar yang mengakibatkan isakkan Louis yang kian keras.
Demi Tuhan, Zayn tidak ingin mengingat hari itu lagi. Hari dimana Harry pergi, adalah hari dimana Louis seolah mati. Hari dimana Harry melangkah keluar menembus hujan, adalah hari dimana Louis mengeluarkan banyak isakkan.
Hari itu juga, adalah hari dimana Zayn menyadari perasaannya yang sesungguhnya. Hari dimana Zayn tahu, dia menyayangi Louis lebih dari seharusnya.
Ia mencintai Louis, lebih dari apapun di dunia ini.
*
"Maaf, Zayn,"
Zayn menggeleng perlahan. Ia mengerti keadaan Louis sekarang, jadi, lelaki itu tersenyum lemah pada Louis dan mendorong sepiring roti panggang pada sahabatnya, menyuruhnya untuk makan.
"Kenapa?" bisik Louis.
"Apa?" Zayn mengangkat alis, menyuruh Louis untuk berbicara lebih lanjut.
"Kenapa kau tetap tinggal? Kenapa kau tidak meninggalkan aku seperti dia?"
Pertanyaan Louis membuat tenggorokan Zayn mendadak kering. Dia menarik nafas dan menggeleng dengan tegas.
"Karena aku bukan dia, Lou," jawabnya, membuat mata Louis spontan menatapnya. "Aku tidak akan meninggalkanmu, apapun yang terjadi. Kita sahabat, bukan?"
Suara tenang Zayn mendadak serak saat ia berbicara kata sahabat. Satu kata yang membangun dinding tipis nan kuat antara dua orang, satu kata yang perlahan namun pasti, menjauhkan keduanya. Satu kata yang menjadi penghalang sekaligus pegangan Zayn selama ini.
Louis membentuk seulas senyum kecil di bibir pucatnya. Ia mengangguk dan mulai memakan sarapannya, tidak menyadari bahwa rasa perih di dada sahabatnya kian menjadi.
"Kau—kau akan melupakan dia, 'kan?" ujar Zayn, matanya tertancap pada meja makannya, tidak ingin menatap wajah Louis.
"Semoga saja," jawab Louis. Nadanya ragu-ragu dan Zayn tahu itu.
Setelahnya, keduanya tidak ada yang berbicara, hanyut dalam pikiran masing-masing. Zayn menelan ludah saat ia mendengar suara hujan di luar apartemennya. Ia melirik kearah Louis yang kini sudah selesai menyantap sarapannya dan memandang kosong ke jendela yang penuh dengan tetesan air hujan.
Tiba-tiba, setetes airmata jatuh dari mata biru Louis, disusul dengan tawa pahit lelaki itu. Ia buru-buru mengusap airmatanya saat dilihatnya Zayn sudah membuang muka, enggan melihat sahabatnya menangisi seorang brengsek yang sudah mematahkan hatinya.
"I miss him, Zayn," Louis berbisik.
"Aku tahu, tapi apa kau yakin dia pantas untukmu?" balas Zayn yang sudah mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menekan emosinya sejauh mungkin.
"Dia mungkin tidak pantas untukku, tapi dia cukup untukku."
"Jadi selama ini aku tidak cukup untukmu, ya?"
Kepala Louis langsung mendongak ketika ia mendengar balasan Zayn. Matanya membulat ketika melihat Zayn sudah menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya.
"Zayn, maksudku bukan—"
"Aku tahu," potongnya.
Louis beringsut mendekati Zayn dan mengelus pundak lelaki itu pelan. Sakit rasanya ketika sahabat yang benar-benar kau sayangi terluka karena kau. Sakit, ketika kau tahu kau menyakitinya, tapi kau tidak bisa melakukan apapun untuk memperbaikinya.
Louis bukannya tidak tahu akan perasaan Zayn. Ia menyayangi Zayn, sungguh. Tapi hanya sebatas sahabat dan dia tidak bisa memaksa dirinya untuk merasakan hal yang lebih terhadap Zayn.
Keduanya tahu, semakin lama keduanya bersama, mereka akan saling menghancurkan satu sama lain.
Karena makin lama Zayn ada di sisi Louis, perasaannya akan terus ada dan dia tidak bisa melakukan apapun tentang itu. Makin lama Louis bersama dengan Zayn, ia semakin merasa bersalah, bagaimanapun situasinya.
Keduanya tahu semakin lama keduanya bersama, semakin lama juga keduanya merasa ada di lingkaran elegi yang tidak ada habisnya.
*
this is so short wtf