Zayn dan Liam tidak pernah berbicara satu kali pun. Informasi keduanya akan satu sama lain hanya sebatas nama.
Maka itu, ketika keduanya ada di satu meja yang sama, berdiskusi tentang tugas kuliah yang sama, bisa dibayangkan seberapa canggung atmosfernya.
"Jadi, uh, bagaimana menurutmu, Liam?" tanya Zayn. Mata cokelatnya menatap Liam melalui bulu matanya yang panjang.
Liam menjilat bibir bawahnya dan menunjuk salah satu kalimat yang tertulis di kertas putih.
"Kurasa bagian ini tidak pas dengan kalimat sebelumnya," kata lelaki itu.
"Begitu? Lalu menurutmu yang pas seperti apa?" tanya Zayn lagi. Ia hanya bertanya, tidak ada maksud untuk menjatuhkan pendapat Liam. Tapi lelaki di depannya jelas merasa begitu.
"Aku— uh, lupakan. Ini sudah bagus, tenang saja," gumam Liam, tangannya menggaruk tengkuknya gugup.
Zayn mengerutkan alisnya. "Tidak, aku memang bertanya. Kau tahu, ini tugas kelompok, jadi pendapatmu memang dibutuhkan disini, Liam," jelasnya.
"Oh," cuma itu yang keluar dari mulut Liam setelahnya. Ia tertawa canggung, berusaha menutupi rasa malunya.
"Tugas ini dikumpulkan bulan depan," ucap Zayn, bermain-main dengan pensilnya. "Jadi kurasa kita berdua punya banyak waktu. Kau dan aku bisa menulis bagian-bagian kita rasa pas, dan membandingkannya minggu depan, bagaimana?"
Liam menggigit bibir. Ia tahu, tujuan Zayn untuk mengerjakan tugas secara terpisah adalah agar mereka berdua tidak canggung dan ia bersyukur akan hal itu. Jadi, lelaki berambut cokelat itu mengangguk.
"Right," kata Zayn, bangkit dari duduknya. "Sampai ketemu minggu depan, Liam."
*
Minggu depannya, keduanya bertemu di tempat yang sama, dengan kertas yang sama. Bedanya, kali ini Liam membawa gitarnya bersamanya.
"Kopiku tumpah semalam, maafkan kertasku yang cokelat pekat," Zayn tersenyum kecil, kertas yang tadinya putih berubah menjadi cokelat pekat khas kopi.
"Tidak apa," Liam menjawab, ikutan tersenyum melihat kertas itu. Beruntung kalimat-kalimat di atasnya masih terbaca.
"Jadi, apa yang kau dapat seminggu ini?" tanya Zayn, menempatkan rahangnya diatas tumpuan tangannya.
"Aku belum menemukan kata-kata yang lebih pas, tapi not-not yang lebih pas? Tentu saja," lelaki itu tersenyum lebih lebar pada Zayn.
Zayn menatap Liam dengan alis terangkat lalu mulai memperhatikan ketika lelaki di hadapannya mulai memetik gitarnya, menghasilkan melodi yang tenang dan belum pernah Zayn dengar.
"Verse pertama dimulai dari sini," kata Liam, matanya fokus pada senar gitar dan kertas putihnya serta kertas setengah cokelat Zayn.
Zayn mengangguk. Perlahan, ia menyenandungkan bait pertama yang sudah setengah jadi sementara Liam sedang kesulitan bernafas karena demi Tuhan, suara Zayn yang kelewat bagus memenuhi indra pendengarannya.
Selesai bait pertama, Liam berhenti memetik gitar, membuat Zayn mendongak padanya dengan alis terangkat.
"Apa?" tanya lelaki berambut hitam itu.
Merasa bodoh, Liam lalu menggeleng malu dan mulai memetik gitar sementara Zayn melanjutkan ke bait kedua.
Liam menarik nafas ketika ia mulai memasuki bagian chorus lagu. Tangannya masih memetik gitar, tetap Zayn membuat pikirannya hanya fokus pada suara lembut lelaki itu.
Ia bahkan tidak sadar Zayn sudah berhenti menyanyi, tangannya masih memetik senar gitar.
"Liam?" panggil Zayn dengan bingung.