Malam itu, lagi-lagi, bentakkan menggema di sebuah kamar apartemen. Disusul dengan suara barang terpecah dan bunyi pintu yang terbanting keras.
Seorang lelaki dengan tubuh bergetar berdiri menyender ke tembok di pojok ruangan. Berulang kali, ia menarik nafas, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Perlahan, ia berjalan menuju kamar yang ia dan kekasihnya tempati bersama dan memasukki ruangan itu. Matanya lalu menancap pada seorang lelaki yang tengah duduk di tempat tidur dengan wajah terkubur di kedua telapak tangannya.
"Li, tidak apa," bisiknya sambil mengelus pundak orang itu dengan lembut.
"Kau terluka?" balas orang itu dengan suara bergetar, tidak mau melihat pada kekasihnya.
"Tidak, aku baik-baik saja. Kau tidak pernah dan tidak akan menyakitiku. Kita berdua tahu itu." suara lembut itu menjawab.
Liam—yang tengah terduduk di tempat tidur menggeleng frustasi. Ia menarik tangannya dari wajahnya dan melihat kearah dua tangannya tidak percaya.
"Tapi aku— Zayn, suatu saat nanti, kau akan lelah denganku. Kau akan meninggalkanku. Someday, you'd feel sick with me and leave, just like them all." bisiknya, airmata jatuh dari kedua pelupuk matanya.
"Liam," panggil Zayn. "Lihat aku."
Liam membuang muka, terlalu malu untuk melihat Zayn. Ia merasa jijik dan tidak pantas.
Zayn kemudian meraih rahang kekasihnya, memaksanya untuk menatap matanya. Ia membasahi bibirnya dan berkata dengan pelan,
"Kalau aku sama saja dengan orang lain, aku pasti sudah meninggalkanmu dari awal. Untuk apa aku bertahan selama ini denganmu kalau pada akhirnya aku akan meninggalkanmu?" Zayn menarik nafas. "Aku sudah memperjuangkanmu selama ini, dan aku tidak akan menyerah sekarang maupun nanti."
Liam tidak bisa lagi menahan tangisnya. Dia bersyukur bisa memilikki Zayn disampingnya hingga saat ini. Sangat.
"Aku— aku takut aku akan menyakitimu," bisik Liam dengan suara bergetar.
"Kau tidak pernah menyakitiku, Liam. Aku tau kau tidak bermaksud untuk mengatakan semua hal itu,"
"Tapi—"
"Sekarang kutanya kau, apa kau lelah denganku? Kau ingin aku pergi?"
Liam spontan menggeleng.
"Kalau begitu jangan berkata seperti itu lagi, kau seolah membuatku merasa tidak diinginkan, kau tahu?"
"Maaf,"
"Tidak apa, Liam. Kau tahu persis aku terlalu mencintaimu untuk pergi,"
"Aku tau, Zayn. Maaf."
Zayn berdecak. "Stop minta maaf, aku tidak apa. Sekarang bagaimana kalau kita tidur saja? Vas bunga itu bisa dibereskan besok."
"Oh," gumam Liam. "Vas itu dari ibumu, kan? Maaf, aku—"
Tidak mau mendengar apa-apa lagi, Zayn langsung menarik leher kekasihnya dan mencium bibir lelaki itu.
"Kalau kau tetap seperti ini, aku— kita berdua tidak akan tidur malam ini, Zayn." kata Liam sambil menarik diri.
"I'd rather have you inside me than sleep tonight,"
"Very well."
*
"Zayn, kau tahu benar Liam bisa saja melakukan sesuatu padamu kapanpun itu, kan?"
Zayn memutar mata saat mendengar perkataan adiknya itu—Waliyha.