why do you care? :: ziam

424 24 23
                                    

Langkah kaki terdengar dengan jelas di sepanjang lorong asrama yang lengang. Siang itu kamar-kamar biasanya kosong, tapi tidak dengan salah satu kamar.

Siang itu, salah satu murid berjalan dengan langkah lebar-lebar yang cepat dan ketika ia sampai di depan kamarnya, ia dengan cepat segera membuka pintu.

"Malik!" teriaknya.

Pintu berdebam dengan kencang, membuat orang yang berada di dalam kamar berjengit mendengarnya.

"Chill, Payne. Kau mau apa?" Zayn—yang sedang berbaring diatas ranjang—berkata.

"Kau," balas Liam—ia yang baru saja membuka pintu—dengan gigi terkatup rapat.

Zayn mengerutkan dahinya sambil bangkit duduk. Ia mengerang ketika luka lebam di perutnya terasa sakit karena pergerakannya.

"Maksudmu ap—"

Kata-kata Zayn terpotong ketika dirasanya bibir Liam sudah berada di atas bibirnya sendiri. Ia mengerang ketika luka di bibir bawahnya disapu oleh lidah milik lelaki di depannya.

Liam menarik diri setelahnya, menatap Zayn tepat di mata dengan maniknya yang lebih gelap dan tajam.

"Berapa kali lagi kau harus kuperingatkan agar tidak buat masalah lagi, hm?" tukasnya, nafasnya yang memburu beradu dengan nafas Zayn.

"Ck," balas Zayn. "Ini bukan urusanmu, bocah."

Liam menggeram. Ia paling benci kalau Zayn sudah mengungkit masalah umur mereka berdua.

"Kau tahu aku bukan bocah," katanya, suaranya rendah dan berbahaya ketika ia menempatkan tangannya di sandaran tempat tidur Zayn, mengapit lelaki itu.

Zayn mendengus. "Kau yakin kau bukan bocah? Karena kau terlihat seperti itu untukku, anak kecil."

Lelaki berambut hitam itu tersenyum miring ketika Liam berdecak dan dilihatnya manik mata laki-laki itu makin gelap.

"Kau benar-benar dalam masalah, Malik."

"Oh, Payne, jangan berkata seperti itu pada seniormu."

Mendengar balasan Zayn, Liam tidak bisa menahan dirinya lebih jauh lagi. Apalagi tubuhnya sudah bereaksi ketika tangan Zayn sudah menjalar ke tubuhnya.

Liam menggigit bibirnya, menahan erangan yang hendak keluar saat bibir Zayn membuat kontak dengan leher dan bawah rahangnya.

"Now, Payne, mind to be a really good junior for me?" bisik Zayn tepat di telinga Liam dengan seringaian di bibirnya.

"Fuck yes,"

*

"Aku baru tau orang sepertimu bisa terlihat semenyedihkan ini," ejek Liam. Tangannya membalut lengan Zayn dengan perlahan.

Zayn tidak membalas, terlalu fokus pada rasa sakit yang menghujam tubuhnya.

"Baru kali ini kau kalah, eh?" lanjut lelaki berambut cokelat itu.

Zayn masih tidak menjawab. Dia cuma memutar mata saat mendengar ejekan Liam yang sebenarnya—kurang lebih—benar.

"Salahmu juga, sudah tau badan Harry jauh lebih besar darimu. Masih saja ditantang,"

"Serius, Payne, kalau kau tidak ikhlas mengobatiku, mending tidak usah. Kau malah membuatku makin pusing, kau tahu?" sentak Zayn akhirnya.

Liam mendengus mendengarnya. Ia ingin membalas Zayn lagi, sebenarnya. Meledek seniornya itu menyenangkan.

"Kata siapa aku tidak ikhlas?" Liam menarik nafas. "Menurutku bodoh saja kau masih ngotot bertengkar dengan seseorang ketika kau sendiri tau kau tidak akan menang."

zayn centric || one shotsWhere stories live. Discover now