Chapter 3

95 17 20
                                    


Lelaki itu terus menyeret Nadia memasuki desa, sesekali ia menjilat darah yang menempel di tangannya.

Saat melihat Nadia, penduduk desa langsung lari terbirit-birit berkumpul, mereka menatap lapar ke arah Nadia yang tidak sadarkan diri. Darah yang mengalir dari tubuh Nadia terlihat sangat menggiurkan bagi mereka.

Suara tabuhan gendang terdengar begitu keras, ada beberapa penduduk desa yang berjoget sambil terus menatap Nadia.

Nadia digiring ke rumah ke ujung desa, ada beberapa penduduk desa yang tidak sabaran untuk memakan daging Nadia. Bahkan beberapa tak segan-segan untuk mendekati tubuh Nadia hanya untuk mencicipi darah segar Nadia. Tapi mereka tak berani berulah lebih lanjut, karena perbuatan mereka segera ditepis dengan kasar oleh para penjaga yang entah kapan datangnya.

Terlihat salah satu penduduk desa berjongkok dan mengambil tanah yang sudah bercampuran dengan darah Nadia di sana, matanya sangat berbinar saat melihat tanah bercampur darah itu. Ia segera memakan tanah itu dengan ekspresi yang sangat menikmati.

Saat tiba di sebua rumah yang berada di ujung desa, lelaki titahan kepala desa segera menggendong tubuh Nadia layaknya karung ke dalam rumah tersebut. Kemudian kedua tangan Nadia di ikat hingga kakinya tak berpijak. Nadia diikat menggantung layaknya seonggok daging segar yang digantung.

Lagi dan lagi, lelaki itu kembali menjilat darah Nadia yang mengalir di pelipis hingga pipi. Nadia meringis merasakan itu, tapi matanya masih terpejam lelah. Hingga Nadia kembali mengerang kesakitan dan memaksakan diri untuk membuka matanya.

"Darah, enak," gumam lelaki itu kembali menjilat darah di pipi kanan Nadia.

Tubuh Nadia bergetar saat perlahan kesadarannya pulih. Ia melihat sebuah siluet lelaki yang wajahnya berada sangat dekat dengan dirinya. "To-tolong," ucap Nadia baru tersadar dari pingsannya. Suaranya terdengar lemah tak berdaya, mungkin karena beberapa kali terbentur dan kehilangan banyak darah.

"Hiks ... to-lo-"

"Sshhttt ...."

Lelaki itu menari telujuknya di bibir Nadia.

"Darah, enak. Cobalah," kata lelaki itu memasuk telujuknya ke bibir Nadia, memaksa Nadia agar menelan darahnya sendiri.

"Hueeekk ...."

"Manusia sialan!" Lelaki itu langsung membulatkan matanya lebar saat Nadia memuntahkan semua isi perutnya ke dirinya. Ia segera melangkahkan kakinya menuju pintu dengan amarah.

BRAAAK ....

***

"Bagaimana ini? Nadia hilang," Resah Syira tatkala mendapati salah satu sahabatnya hilang. "Darwin ini salahmu!" ucapnya kemudian.

Darwin menundukkan kepalanya benar-benar merasa bersalah. Ya, tentu ini salahnya, bagaimana bisa ia begitu tega meninggalkan sahabatnya sendirian di hutan belantara seperti di sini. Dan lihat akibatnya, kini bahkan tak hanya dirinya yang dirundung rasa khawatir, tetapi juga seluruh sahabat-sahabatnya.

"Sudah-sudah," ucap Ikhsan menengahi. "Percuma menyalahkan Darwin, toh Nadia gak akan balik dengan sendirinya kalau kita menyalahkan Darwin terus. Sekarang yang harus kita pikirkan bagaimana cara kita menemukan Nadia," jelas Ikhsan bijak.

"Aku sependapat dengan Ikhsan, sekarang sebaiknya kita mulai mencari Nadia sebelum Nadia benar-benar hilang terlalu jauh." Rika pun ikut memberi suara.

"Oke kalau begitu sekarang kita ambil senter dulu," ucap Wildan segera berlalu menuju mobil mereka untuk mengambil peralatan keselamatan. Agun dan Aldi pun juga mengikuti Wildan untuk membantunya.

Death ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang