Chapter 7

32 3 9
                                    

"Silakan, Kepala Suku," kata seorang warga memberikan segelas darah segar kepada dia yang sedang duduk di sebuah kursi kayu.

Tangan lentik kucel penuh goresan luka itu menerimanya. Menyesapnya dalam diam. Kemudian berkata, "Suruh warga memulai pestanya."

Intonasinya datar, namun menimbulan kepatuhan kepada yang mendengarnya. Pesta pun segera di mulai, tengkorak-tengkorak yang bergelantungan sengaja dijadikan hiasan untuk pesta itu.

Tubuh segar Nadia tergantung bebas di tiang yang sudah di sediakan, darah segar terus mengalir di tubuh tanpa kaki itu. Warga saling berebutan untuk meminum darah segar yang terlihat sangat menggoda untuk mereka. Tak jarang air liur mereka menetes ketika melihat darah itu.

"Aku ingin matanya."

"Aku ingin ususnya."

"Aku ingin lidahnya."

"Terlihat sangat segar dan lezat."

Begitulah gumaman warga desa yang terlihat sangat kelaparan. Meskipun mereka sangat lapar dan ingin langsung menerkam tubuh Nadia, tapi mereka tetap tunduk kepada kepala suku. Kepala suku belum menyuruh mereka untuk makan, hanya bisa meminum darahnya saja, karena ini masih awalan pesta.

Suara tepukan konga, dan tiupan dari seruling mendominasi gelapnya malam. Para warga saling menari dengan heboh dan tidak beraturan. Bahkan ada beberapa perempuan yang membuka bajunya satu persatu hingga tidak ada satu helai benang pun yang menutupi tubuhnya, perempuan itu sangat menikmati pesta sampai-sampai lelaki mengguyur tubuhnya dengan darah pun ia tetap menari-nari dengan lihainya, bahkan semakin cepat dan semakin cepat, sambil menjilat darah yang berada di tubuhnya.

GOONGGG ....

GOOONNGG ....

Pesta berhenti begitu saja ketika suara gong bergemuruh memenuhi alam, suara gong itu pertanda bahwa siap untuk memakan sajian utama. Para warga segera duduk di tempat ia berdiri tadi, saling menyecap bibirnya sendiri tanda tak sabar untuk menikmati hidangan.

Para penjaga mayat Nadia segera menurunkan tubuh itu, ia dengan kejamnya mengeluarkan otak dan jantung Nadia. Dipotong-potong otak dan jantung itu menjadi dua bagian, dan di persembahkan untuk kepala suku mereka. Setelah sang kepala suku dipastikan sudah mendapatkan bagian, mereka kembali memotong-motong tubuh Nadia dan melemparkan potongan-potongan tubuh itu pada warga.

Mereka saling berebutan untuk mendapatkan bagian yang mereka inginkan, dan memakannya mentah-mentah. Kepala suku yang melihat itu hanya tertawa sambil memakan bagiannya, tak lupa ia sering mengigit-gigit jarinya.

"Tawanan ... kesinikan-beri dia makan," perintah kepala suku setelah ia makan. Ia segera bangkit dan meninggalkan pesta tersebut.

Seorang lelaki pun segera bergegas menuju gudang tempat di mana Kirana di sekap, ia langsung memaksa tubuh lunglai Kirana menuju pesta itu. Meskipun Kirana lelah, setelah melihat ia dibawa keluar ada secuil ide di otaknya untuk kabur.

Lantas ia pun memberontak dari genggaman lelaki itu, tapi sayangnya tenaga itu lebih kuat dari dia, membuat Kirana berada di dekapan paksa lelaki bertubuh bau busuk itu. "LEPASIN GUE BEGOO!!" teriak Kirana terus memberontak.

"DIAM SIALAN!"

BRUK ....

Lelaki itu melempar tubuh Kirana pada batu, membuat kepala Kirana terbentur. Darah mengalir di pelipis Kirana. Ia kembali terkulai lemas, dengan senyum meremehkan lelaki itu kembali menyeret Kirana. Berbeda dengan tadi, sekarang ia menyeret menarik rambut panjang Kirana.

"Tuhan, tolong aku," rintih Kirana dalam hati.

Karena kedatangan Kirana dalam pesta itu, membuat perhatian warga bertuju padanya. Mereka langsung menatap ganas tubuh Kirana.

Death ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang