Kadang kala kita tidak akan pernah memercayai sesuatu jika tidak ada bukti yang pasti. Karena manusia memiliki otak untuk berpikir dan akan selalu menggunakannya secara sadar maupun tidak sadar sampai detik mereka menghembuskan napas terakhirnya.
Cahaya hangat yang dipancarkan oleh mainan dewa Apollo menerangi sebagian belahan bumi. Suara merdu berasal dari bibir gadis kecil tersebut mewarnai atap yang awalnya sunyi. Angin sepoi-sepoi meniupi helaian rambut pendek gadis tersebut, membuatnya terlihat anggun. Bagaikan seorang penyanyi yang sedang menggelar sebuah konser masal.
Detik-detik tersebut tiga insan menahan napasnya. Terkejut atas apa yang telah mereka dengarkan ditambah lagi mereka sangat terpukau mendengar kemerduannya.
Ketika Val berhenti bernyanyi, dan membalikkan badannya menatap trio itu tengah menatapnya. Ia membeku, tidak tahu lebih baik ia teriak atau terdiam. Ataukah lari lagi?
Val takut, suaranya adalah hal yang terburuk. Bahkan kemungkinan ia mengeluarkan nada yang salah sangat besar.
Namun itulah hobinya, menyanyi walau tidak dapat mengetahui suaranya terdengar seperti apa. Walau ia memungkiri semua kata hatinya dan lebih mementingkan apa yang ia takuti begitu pula masa lalunya.
Matanya menatap ubin-ubin, melupakan badannya yang telah basah kuyub dan bahkan cuaca yang dapat membuatnya jatuh sakit. Antara malu atau ketakutan, Val tidak dapat membedakannya. Gemetar kedinginan ataupun ketakutan tidak terlihat jelas, mungkin ia merasakan keduanya secara bersamaan.
Suara tepukkan terdengar, tiga pasang mata tersebut berbinar penuh dengan harapan. Gerakkan kecil tersebut tertangkap dari ujung mata Val. Kemudian, ia menengok melihat kedua telapak tangan dengan cepat saling bersentuhan, saling menepuk menimbulkan sebuah suara apresiasi. Suara apresiasi yang awalnya lambat kian cepat.
Walaupun Val tidak mengingat bagaimana suaranya, namun hal tersebut membuat dahaganya hilang. Di suatu tempat dalam hatinya begitu nyaman dan hangat. Jantungnya berdebar cepat, namun terasa begitu menyenangkan. Ia merasakan setiap detaknya bagaikan mendengarkannya melalui stetoskop.
Senyum lembut merekah dari bibir tipis itu, membuat ketiganya terpana. Namun salah satu di antaranya menghambur segera memeluk sosok rentan itu. Membuat senyumannya meninggalkan wajahnya dan bibirnya kembali terkatup rapat. Bola matanya agak mengecil.
Wajahnya memanas, walaupun udara di sekitarnya dingin. Badannya memanas, apakah ia benar-benar sakit?
Sekali lagi ia merasakan detak jantungnya yang kian cepat. Bahkan terasa menggema. Kedua tangan kuat yang menglingkari tubuhnya terasa bagaikan perisai yang selali bersedia menjaganya dari berbagai serangan.
Seharusnya ia sedih dan tidak setenang ini berada di dalam pelukkan seorang yang ia benci. Apakah otaknya sudah kacau karena ia sedang demam?
Dan lagi pertanyaan yang sama kembali terputar di dalam benak Val.
Membencinya?
Kau terlalu membencinya, hingga kau terjatuh terlalu dalam untuk sekedar mencintainya. Bahkan kau tidak tahu, yang sebenarnya.
Apakah kau membencinya?
Atau justru mencintainya?---
"Dengan begitu Val dapat berpartisipasi di dalam festival musik." ujar bocah memakai topi merah itu untuk kesekian kalinya tidak pernah ingin melepas opininya yang ia usahakan agar berubah menjadi fakta yang tidak terelakkan.
"Tidak bisa begitu dong. Kamu jangan seenaknya memutuskan Gray!" sanggah Cathy, bukannya ia menolak agar Val bersinar terang sebagai pemeran utama. Namun mereka tidak akan tahu apa yang akan terjadi jika seisi kelas-- sepenjuru kelas mengetahuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You
Short StorySetiap pertemuan, selalu ada perpisahan. Setiap ada kata suka, pasti ada percikan api di jantung. Setiap kata benci, memunculkan rasa cinta. Semuanya dimulai dengan hari cerah yang ceria. Sebelum diriku mengenalmu. Sebelum kamu mengenalku. Aku hanya...