2 - I Found a Reason

26 5 2
                                    

-Alma POV-

Saat ini aku sedang berjalan bersama Vivi menuju rumah. Aku kembali meyakinkan diriku sendiri bahwa saat ini aku telah bahagia.

"Aku tidak perlu memikirkan tatapan sinis mereka saat di sekolah Vivi tadi, ya tidak perlu", yakinku sekali lagi dalam hati.

Aku memang tidak kaget dengan tatapan seperti itu. Sudah dari dulu aku selalu dipandang buruk dan direndahkan. Di sekolah bahkan yang paling membuatku terguncang adalah di keluargaku sendiri.

Tapi tatapan mereka tadi seakan ingin mengeroyokku. Aku pun meyakini satu alasan mengapa mereka terus memandangku seperti itu tadi. Yaitu, seorang anak SMA yang telah memiliki anak.

Tapi jika mereka tau yang sebenarnya, pasti mereka akan menyesal. Aku juga seharusnya tidak perlu memusingkan hal itu. Seharusnya aku bersyukur Vivi datang dalam kehidupanku. Karena jika saja waktu itu (tepatnya lima tahun lalu saat masih duduk di bangku kelas-2 SMP), aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku telah menjadi penghuni tetap pemakaman. Dengan kata lain, meninggal.

*flashback*

Alma sudah akan mengambil ancang-ancang untuk melompat ke dalam sungai dari atas jembatan. Tekadnya sudah bulat, bahwa hari ini dia harus mati.

Karena untuk apalagi ia hidup, jika sudah tidak ada lagi orang dipihaknya. Kedua orang tuanya sudah resmi bercerai. Selama kurang lebih 2 tahun terakhir percekcokan diantara keduanya Alma saksikan sendiri. Batin Alma sakit untuk menerima kenyataan yang teramat pahit itu. Disaat seharusnya ia mendapat perhatian lebih.

Alma bahkan baru memasuki tahun ke-2 di SMP. Dan perceraian itu benar - benar satu kejutan yang berdampak besar bagi hidupnya. Sekolahnya pun terganggu, terlalu banyak pikiran dalam otak mudanya untuk sekedar di isi dengan pelajaran pelajaran.

Kondisi pertemanan dan lingkungan sekolahnya pun tak jauh berbeda. Tidak ada satupun teman yang dapat ia jadikan setidaknya tempat berkeluh kesah. Mereka semua seakan tidak peduli padanya.

Hingga akhirnya, Alma lebih memilih untuk memisahkan diri.
Duduk sendirian di kelas dengan pikiran yang penuh dengan masalah orang tuanya. Menghabiskan waktu olahraga dengan hanya menonton teman-temannya yang bermain dengan gembira. Ia iri. Ia ingin sekali ikut dengan mereka untuk sekedar merasakan kegembiraan itu dan lupa akan masalahnya, tapi ia takut teman-temannya merasa terganggu dengan kehadirannya.

Mereka sudah terlalu lama terbiasa dengan tidak adanya seorang Alma dalam pergaulan mereka. Mereka telah mengecap Alma sebagai anak anti-sosial yang hanya akan menjadi pengganggu.

"Untuk apalagi aku hidup Tuhan? Untuk apa?" racaunya penuh dengan kesedihan.

"Keluargaku hancur. Mama dan papa bahkan tidak memikirkan gimana hancurnya aku. Mereka cuma mau dengar ego mereka masing - masing. Aku sakit setiap mereka adu mulut. Aku sakittt", jelasnya dengan wajah yang telah basah karena air mata.

"Di sekolah juga sama aja. Aku bahkan gak punya temen untuk bicara. Aku duduk sendirian di kelas, pulang sendiri, istirahat sendiri, apa - apa selalu sendiri. Aku juga ingin punya teman, satu saja. Tapi kenapa tidak bisa Tuhan? Sesulit itukah? Hah?"

"Kenapa gak cabut nyawaku saja sekalian? Biar selesai semuanya!"

Alma menangis sesunggukan di atas batas jembatan. Tubuhnya sudah lemas menangisi kondisi kehidupannya. Pikirannya pun lelah dengan semua kenyataan pahit di hidupnya. Tetapi ia tetap berdiri di atas batas jembatan. Ia ingin mati.

Lalu pandangannya mulai mengabur, kepalanya pusing sekali. Sekarang Alma telah bersiap mengakhiri takdirnya. Ia merentangkan kedua tangannya dengan lemah.

"Aku akan mati hari ini", satu kalimat dengan mantap keluar dari mulutnya.

Tiba-tiba pandangannya menggelap ia merasakan tubuhnya yang terjatuh, lalu ia tidak merasakan apa-apa lagi.

*****
Yuhuuu~
Gimana readers? Aku mau banget buat kalian nangis tapi kayanya gagal ya? Hmm

Sekali lagi aku minta kritik dan sarannya dengan comment di cerita aku, plus jangan lupa kasih vote juga! :D

Sekian.
Kecup basah dariku. Muah

The Reason WhyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang