5 - Oh God, Now What?

24 1 0
                                    

Aku mengendap - endap masuk ke rumah, takut ada penghuni rumah yang mengetahui kedatanganku.

Krekk..

"Ssttt!! Jangan berisik pintu! Easy!" bisikku pada pintu rumah yang berderit saat kubuka.

Aku mencoba berjalan perlahan menuju pintu kamarku. Tanganku sudah gemetaran, karena sedari tadi menggendong bayi. Aku bahkan jalan kaki untuk ke rumah.

Sayup - sayup terdengar suara di tempatku berdiri. Suara berisik dari barang - barang atau sesuatu. Arahnya dari kamar orang tuaku. Lebih tepatnya kamar orang tuaku yang sudah resmi BERCERAI.

Sial. Pikiran itu muncul lagi.

Aku sudah berusaha keras menenangkan pikiranku dan mencoba melupakannya perlahan. Lalu sekarang? Hanya karena suara tak jelas dari kamar mereka saja 'penyakit' itu kambuh.

Aku tersenyum miring pada pikiranku sendiri.

"Sudah, ke kamar saja!" perintahku dalam hati pada diriku sendiri.

Baru saja akan memegang kenop pintu. Suara tak jelas tadi malah semakin kencang. Karena memang letak kamar mereka tak jauh dari kamarku.

Diantara suara dentuman benda, terdengar suara bass milik papa, diselingi suara mama yang meninggi. Aku memutar bola mataku dan segera masuk kamar.

Aku letakan bayi ini diatas tempat tidurku. Lalu mematikan AC yang sedari tadi menyala. Tak tega karna sepertinya bayi ini telah kedinginan cukup lama.

Lalu aku turut serta berbaring di samping bayi. Menatapnya sekilas lalu beralih ke langit langit kamarku dan perlahan memejamkan mata. Tubuhku memang lelah, tapi aku belum bisa tertidur. Pikiranku menebak nebak apa yang sedang orang tuaku lakukan di dalam kamar.

Dari kamar aku bisa mendengar suara mereka lebih jelas. Mereka berdebat, tapi aku tidak tahu apa yang mereka perdebatkan.

Lalu mulai terdengar jelas, suara seretan roda keluar dari kamar. Mungkin koper yang sedang diseret. Terdengar juga suara sentakan kaki di lantai.

Mataku dengan refleks terbuka. Aku berdiri, mencoba mendekati pintu kamar untuk mendengar lebih jelas. Meletakan salah satu telingaku pada pintu dan mulai mendengarkan pembicaraan mereka.

"Loh? Kenapa mas yang sekarang nyalahin aku? Seharusnya aku disini yang berhak marah!"

"Ahh. Aku pusing denger kamu ngomel terus tiap hari. Sekarang, urus saja urusanmu. Aku urus urusanku!"

Deg. Rasanya seperti ada bara api yang coba membakar hatiku. Mataku pun mulai berair.

"Ya memang itu yang aku mau, mas. Tapi kamu gak bisa dong menelantarkan anak kamu sendiri! Alma itu masih anak kita!"

Cukup.

"Anakku? Masih berani kamu ngomong begitu?! Coba kamu tanya sama mantan kamu atau selingkuhan kamu itu."

Sudah, cukup.

Akhirnya air mata itu menetes tanpa bisa aku cegah. Dan disusul tetesan lain yang malah makin deras. Aku menangis terduduk di balik pintu.

"Kamu itu .. mulut kamu sembarangan ya mas!"

"Sudah! Bicara sama kamu itu buang buang waktu"

Setelah itu, terdengar suara bantingan pintu yang cukup keras. Disusul suara starter mobil serta suara mobil yang melaju. Aku juga mendengar samar isak tangis mamaku.

Baru aku sadari, bahwa bayi di tempat tidurku telah menangis dengan kencang sedari tadi. Aku segera menghapus air mataku dan mendekati bayi dengan panik. Lalu mulai menenangkannya. Apa yang harus aku lakukan?

"Sttt, jangan nangis ya bayi kecil. Jangan nangis. Nanti mama tau" ucapku sambil menepuk pelan kakinya terus menerus. Biasanya bayi akan tenang bila ditepuk seperti ini.

"Alma, itu suara apa? Itu suara bayi kan?" tanya mama sambil mengetuk pintu dan mencoba membuka pintunya. Untungnya, tadi aku sempat mengunci pintu kamarku.

Apa yang harus aku katakan?

"Bukan apa-apa." jawabku dingin mencoba menutupi rasa panikku. Tetapi bayi ini masih saja menangis. Bagaimana ini?

Lalu aku tutup mulutnya pelan, berharap suaranya dapat teredam dengan tanganku. Ah, ini tidak berhasil.

"Alma, mama bisa dengar ya! Itu suara bayikan?"

"Alma! Buka pintunya sekarang!" perintah mama dengan nada suara yang makin meninggi sambil menggedor kencang pintu kamarku

"Apa peduli mama? Hah?!" jawabku makin dingin.

"Alma!", jawab mama marah.

"Gak usah ikut campur, Ma. Ini urusan aku." ucapku dengan mantap.

"Apa kamu harus bersikap seperti ini sama Mama kamu sendiri, Alma?", tanya Mama dengan suara lirih. Aku dapat merasakan kesedihan dalam ucapannya.

"Seharusnya Mama tanya ke diri Mama sendiri, kenapa aku bersikap kaya gini ke Mama!" balasku dengan lantang menjawab pertanyaan Mama.

Perkataanku memang tidak dapat diterima. Apalagi untuk Mamaku sendiri. Tapi aku telah di ujung tanduk, Ma.

Maaf.

*****
Halo readers!!
Jangan bosen bosen dengan cerita alay ini yaa :B
Oh iya di media ada mv. Melted by Akmu. Yang kalo diartiin sih, menurutku dapet banget sama cerita di bab ini. Dan feel di lagunya juga cocok.

Dan jangan lupa juga kasih kritik & saran di kolom comment, plus votenya. Okay?

Sekian dariku^^

The Reason WhyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang