No More Love ?

605 57 8
                                    

Hotel tempat kami menginap cukup dekat dai pusat oleh-oleh juga sebuah pantai indah yg terbilang cukup sepi. Kulangkahkan kakiku tak menentu di pantai, sesekali aku berjongkok memunguti beberapa cangkang kerang. Suasana yang sangat nyaman, kulihat ada beberapa turis asing sedang asyik berfoto ria.

Kududukan diriku sejenak, tak kupedulikan jika pakaianku menjadi kotor karena pasir. Aku hanya ingin menikmati kesendirianku ini.

Kalau di ingat-ingat sudah sekitar 2 tahun sejak aku memasuki jenjang perkuliahan. Yang berarti selama 2 tahun ini pulalah aku menyukai kak Rivan, dan aku sadar ini bukan sesuatu yang seharusnya aku pertahankan. Memikirkan itu seketika membuatku sesak, dan mataku sedikit memanas. Tidak! Hamly jangan menangis, apa kau bodoh.

Apalagi kak Rivan menyukai sahabatku, aku harusnya bahagia untuk mereka. Tapi apa aku sanggup melihat mereka bersama ?

"Hey bro" kata seseorang menepukku dari belakang. Kulihat sosok laki-laki kira-kira satu atau dua tahun di atasku. Dia bersama 3 orang temannya, kulihat dia berbicara sesuatu pada temannya lalu mereka pergi meninggalkan kami berdua.

"Edwin" katanya mengulurkan tangan. Aku mentapnya sejenak lalu mengerti maksudnya. Ku ulurkan pula tanganku.

"Hamly" jawabku singkat. Dia ikut duduk di sebelahku. Oh aku ingat, dia adalah salah satu delegasi untuk acara yg kami ikuti, sepertinya perwakilan dari bali ini kayaknya.

Dia tersenyum tipis, sangat tampan. Wajahnya agak tirus dengan sorot mata yg tajam. Kulitnya sawo matang dengan rambut hitam yang di potong rapi. Tubuhnya lumayan berisi, ku pastikan dia memiliki otot-otot yang padat seperti kak Rivan. Aish kenapa aku harus mengingatnya lagi.

"Ngapain sendirian disini ? Ingat gua ?" Katanya membuyarkan lamunanku.

"Ah haha ingat kok, delegasi dari bali kan ?" Dia tersenyum menampilkan gigi-giginya yang rapi, membuatku tersipu. "Cuman mau nikmatin suasana pantai"

"Terus kok sendirian, yang lain mana ?" Tanya Edwin dengan suaranya yg berat.

Aku menggeleng. "Emang lagi pengen sendiri aja" aku tersenyum sedikit. Kulihat dia menatapku terus. "Ada sesuatu di wajahku yah ?" Tanyaku menyentuh wajahku. Tapi dia malah menggeleng.

"Tidak kok, cuman lu cakep banget kalau senyum" aku merasakan pipiku memanas dan dia lansung tertawa. Aku pun juga ikut sedikit tertawa.

"Berarti tidak papa dong gua ganggu ?" Tanyanya. Aku mengangguk.

Edwin orang yang menyenangkan. Untuk orang yg pendiam sepertiku, baru kali ini aku mengobrol dengan begitu lepasnya. Di setahun lebih tua dariku dan juga lebih senior. Aku sempat memanggilnya dengan embel "kak" tapi dia malah melarangnyax biar lebih akrab katanya. Dan Ternyata dia adalah belasteran Indo-belanda. Pantas saja sangat tampan -.-

Dia merangkulku, dan aku sama sekali tak canggung karena memang Edwin memiliki karisma dan sifat yang hangat, dia sangat terbuka menceritakan dirinya. Kareba itu aku juga tak masalah menceritakan mengenai diriku, meski tidak semua kuceritakan tentunya.

Kami mengobrol menikmati sunset sambil tertawa ringan sampai mataku menangkap pemandangan yang cukup tidak mengenakan. Yah aku melihat Dena dan Kak Rivan, kulihat mereka menyusuri pinggir pantai sambil tertawa. Entah apa yang ada di benakku kini, aku bahagia, karena merek memang serasi apalagi Dena adalah sahabatku. Tapi aku tak menapik angan bahwa aku ingin berada di posisi Dena.

Aku berusaha mengabaikan mereka berpura-pura tidak melihatnya. Kualihkan wajahku untuk menatap Edwin di sampingku yang sedang asyik bercerita. Dia juga menoleh untuk menatapku.

Kulihat dia menautkan alisnya heran. "Hamly, lu kenapa ? Gua ada salah ngomong ?" Tanyanya mulai terlihat khawatir.

"Eh?" Heranku.

"Iya, mata lu merah berkaca-kaca" katanya. Aku menggeleng dan sedikit tersenyum.

"Ah tidak kok, mataku kemasukan pasir" jawabku.

"Oh sini gua tiup" Dia lansung menangkup pipiku dengan kedua tangannya dan menarikku mendekat ke wajahnya. Dia meniup mataku, nafasnya beraroma mint segar. Aku merasa menyaal telah berbohong.

"Kalian ngapain di sini ?" Aku tersentank, kulirik ke samping ternyata Dena sudah berdiri bersama kak Rivan. Tangan Edwin masih di kedua pipi ku. Beberapa detik setelahnya dia lansung berdiri menyapa mereka berdua.

"Oh si Hamly matanya kemasukan pasir, hahaha lucu ya. By the way gue Edwin" katanya mengenalkan diri.

"Dena" jawab dena pelan dan terlihat dingin.

"Rivan" kata kak Rivan tapi nadanya terkesan kasar dan jelas menunjukan ketidak sukaannya. Tapi Edwin sepertinya tidak terlalu mempermasalahkan itu.

"Kalian berdu yg kepilih ke paris kan, hahaha selamat yah" mereka berdua mengangguk. "Haha kompak banget, emang serasi" katanya mantap. Tapi wajah Dena dan kak Rivan terlihat masih tdk suka pada Edwin.

"Kalian ngapain ?" Tanyaku memecah suasana.

"Jalan-jalan"/"nyariin elo" kata kak Rivan dan Rena serentak.

"Kita nyariin lo sambil jalan-jalan berdua" kata kak Rivan memperbaiki.

"Hamly ayo balik. ada yang mau di omongin nih" kata Dena.

"Oh iya, duluan aja. Gua masih mau ngobrol bentaran sama Edwin" kataku.

"Tapi–" omongan dena terpotong oleh kak Rivan.

"yaudah lu nyusul ya." Katanya pergi meninggalkan kami lalu di susul Dena dengan langkah menghentak, kalau begitu pasti dia kesal sekali. Tetapi karena apa, kulihat dari jauh ia memukul kak Rivan dari belakang berkali-kali.

"Edwib kayaknya gue harus balik deh" kataku.

"Yaahhh, gua nggak bisa pdkt lagi dong hahaha" katanya tertawa.

"Hahaha gue juga, kapan-kapan kita pasti ketemu lagi kok" kataku mantap.

"Sini hape lu" katanya lansubg merebut handphone di genggamanku. "Nah udah, Line kita udah berteman. Gua jg udah dapat nomor lu. Ntar kontekan terus yah." Katanya antusias. Aku pun begitu.

Setelah sedikit berbincang kami berpisah, aku kembali ke Hotel tempat kami menginap.

Fade Out (BoyxBoy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang