2. Gitar Berdarah

226 31 59
                                    

Nama gue LOSTA.
18 tahun. Introvert akut.

Mungkin, saat lo membaca kisah ini, dunia kita sudah berbeda. Tapi satu permintaan gue, please....izinkan dunia tahu bahwa seorang Losta pernah ada dan yang gue alami nyata adanya.
Ini kisah terakhir hidup gue.

..
Selasa Pertama.

"Losta sayaaangg.. where are you?"

"Lostaaaaa....!!"

Tawa berderai menyertai suara nakal yang memanggil namaku.

"Ayolah, permainan kita belum selesai lhoo..Hahaha!"

Suara tiga orang yang sangat kubenci terdengar di lantai atas. Aku gemetar ketakutan. Ughh!! Bodohnya aku, kenapa tadi langsung pulang ke rumah? Biasanya kan singgah di Cafe Kak Ruslan.
Alhasil, tiga cecunguk sok populer di sekolahan malah membuntuti aku hingga ke rumah.

"Jangan pernah duduk sendirian ataupun berbicara sendirian di gudang ya, nak. Apapun benda yang ada di dalam, jangan kamu sentuh."

Pesan Papa pagi tadi seakan tak pernah singgah di telingaku saat aku terpaksa bersembunyi di dalam ruangan pengap berdebu ini.
Gudang yang terasa seram dengan aroma lembabnya.

Tess.

Terasa sesuatu yang dingin mengalir di pipiku. Aku mengusap darah yang mengalir dari luka di pelipis kananku.
Leher dan tanganku pun terluka. Kepalaku mulai berkunang-kunang.

Bukk.

Pintu gudang terbuka oleh tendangan kaki seseorang.

"Hahaha..lo ngumpet di sini rupanya?"

"Girls, keknya ni anak berdarah deh. Elo sih ngedorongnya ke tiang besi!"

"Mana gue tahu kalo ada tiang besi di tangga itu??"

"Elo malah yang lebih sadis. Masa nusuk pake pena tajam gitu. Psikopat lo ternyata!"

"Emang...! Kayak lo enggak aja. Hihihi. Lagian ni anak emang songong-nya.. Pantas banget buat disiksa."

"Hahahahahaha!!"

Kaki-kaki bersepatu sekolah itu menendangi seluruh tubuhku sepuas mereka. Aku sudah tidak kuat lagi.

"Eh eh? Napa lo? Dia pingsan! Girls, kabur yuk!!"

Sayup-sayup aku masih mendengar suara cempreng mereka, lalu semua terasa gelap.. Sangat gelap.. Semakin gelap.

..
Dingin.

Bau.

"Aku dimana?"

Perlahan aku membuka mataku dan menyadari posisi tubuhku masih terbaring di lantai gudang yang dingin.

Rambutku terasa basah. Bau amis menyeruak di hidung. Darah yang mengalir dari pelipis kanan menggenang memenuhi wajahku yang masih menempel di lantai.

Dari sudut mataku terlihat sebuah benda berkilat di depan sana.

"Apa itu?", batinku heran.

Aku mengangkat tubuh dan bergerak mendekati benda itu.
Refleks, tanganku kembali mengusap darah dari wajah. Perih rasa luka di tangan, leher dan sekujur tubuhku.

GITAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang