3. Tangan Berdarah

253 34 53
                                    

Selasa Keempat

Ting.. Ting.. Ting..

Tepat tengah malam, nada itu terdengar kembali. Menakutkan sekaligus menghadirkan.... Rindu?

Aku tersenyum. Sudah terbiasa dan terhibur dengan nada-nada klasik itu.

When a person laughs too much, even on stupid things, that person is sad deep inside. When a person sleeps a lot, that person is lonely.

(Ketika seseorang tertawa terlalu banyak, bahkan pada hal-hal bodoh, orang itu menyimpan kesedihan yang jauh di dalam. Ketika seseorang tidur banyak, sebenarnya dia orang yang kesepian).

Pardo....

Entah kenapa aku menuliskan namanya di akhir kalimat pedih yang kutuliskan pada buku catatanku.

Saat tanganku hendak menghapus tulisan nama itu, lagi-lagi sebuah silet melayang dan menyayat lengan kananku.

"Aduhh!!, jeritku kesakitan.

Darah mengalir keluar, dan lagi-lagi...tidak sampai di tanah. Seolah ada yang menampung di udara.

"Please, jangan dihapus. Bila kamu memang mau aku ada di sini."

Kamu dan aku. Bukan elo dan gue.

"Eh, hai, Pardo?"

Saat mendongakkan kepala ke arah suara itu, aku berharap bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi sedetik kemudian ada perasaan ragu di hatiku.

"Are you lonely?", tanyanya.

Hmm, dia membaca tulisanku.

Aku mengangguk lemah mengaku di hadapan sosok yang bentuk wajahnya kini mulai jelas, meskipun tubuhnya masih diselubungi oleh bayangan yang kali ini berwarna coklat.

"Kan sudah ada aku?".

"Duh, senyum mempesona itu...."

"Losta, aku bisa...."

"Iya, iya Pardo. Aku tahu kamu bisa dengar suara hatiku!"

Lalu kami tertawa bersamaan.

Ya...begitulah.
Hari demi hari selanjutnya, aku semakin terbiasa dengan bayangan hitam bersama senyuman yang hangat dari seorang Pardo.

Entah sejak kapan, gitarnya pun telah berpindah ke kamarku.

.
"Ehem, aku boleh gak, minta ditemani sama kamu sepanjang malam ini?".

Aku berkata pada Pardo di suatu malam yang sepi. Ngarep. "Karna biasanya kamu suka menghilang tiba-tiba.", lanjut batinku.

"As you wish, my queen!"

Ucapnya nakal sambil menarik sebelah kakinya ke belakang, meletakkan tangan kiri di dada, dan melambaikan tangan kanan ke bawah sambil menundukkan kepala.

Menghormat 'ala' Pangeran Eropa.

Aku tersipu. Merasa tersanjung sekaligus malu, dan sebelum aku memikirkan sesuatu... dengan cepat dia menyeletuk. Sedikit panik,

"Eittss, jangan... mengharapkan agar aku menghilang.., please. Aku akan berhenti membuatmu tersipu. Asal jangan sedikitpun berharap aku menghilang."

.
Keesokan harinya, aku terbangun dengan semburat merah di pipi.

Saat mematut diri di depan cermin, ada perasaan malu melanda hatiku. Tetapi tidak yakin apa sebabnya.

GITAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang