4. Kematian Tanpa Darah

131 30 30
                                    

Selasa Keenam.

Dukk. Tin tiinnn. Brummm.

Setelah melemparkan tubuhku ke halaman depan rumah, ketiga manusia yang -menurutku- lebih jahat dari iblis itu kabur dengan mobilnya.

Aku berusaha merangkak ke pintu.

Entah iblis apa yang melanda anak-anak remaja sekarang. Bisa sebegitu bangganya mem-bully atau menyiksa teman yang mereka anggap lemah.

Masih terbayang penyiksaan yang mereka lakukan sepanjang malam tadi. Mereka menelanjangi dan mengikat aku di tiang. Memang, mereka sempat kaget melihat luka-luka sayatan di leher, tangan dan kakiku. Namun keadaan itu sedikitpun tidak mengurangi nafsu mereka untuk memukuli aku.

Aku yakin bahwa pagi ini video penyiksaan yang mereka lakukan terhadapku sudah beredar di media sosial. Whatever-lah

Sepanjang malam aku hanya bisa mengingat Pardo, tapi tidak bisa 'memanggil'-nya. Atau memang Pardo hanya bisa ku'panggil' saat di rumah ini saja? Lantas kenapa waktu di Cafe...kan dia...?

"Akhh shitlahh! Gue gak bisa mikir apa-apa lagi!"

Sekujur tubuhku terasa sakit. Sangat sakit. Tanpa sehelai benangpun. Tapi rasa sakit dan perih melebihi rasa malu yang kurasakan.

Aku mengutuk kota besar yang kata orang kota metropolitan ini!!!
Aku merindukan kota kecilku yang damai di ujung pulau Sumatera sana!!

Aku merindukan ketenangan. Kebahagiaan bersama Mama, Papa.

Di teras depan kudapati sebuah pena yang mungkin milik ayah yang terjatuh. Kuraih dan sekuat tenaga menusukkannya ke pergelangan sebelah dalam lenganku. Tepat di urat nadi. Darah bukan mengalir lagi, tapi memuncrat layaknya keran air.

"PARDOOOOOOO !!!!!!!! GUE PENGEN ELO BENERAN ADA DI SINI. GUE PENGEN ELO NYEMBUHIN LUKA INI!!. SAKIT INI!!!. AKU BUTUH KAMUUUU!!"

Aku berteriak sekuat tenaga.

Tiba-tiba, tubuhku terasa diangkat oleh sepasang tangan yang kuat. Dia membawaku masuk ke rumah, menggendongku naik ke atas kamar.

Entah kekuatan dari mana, aku merasa sanggup berdiri bersamanya di dekat ranjang, tepat di samping gitar miliknya.

Aku terhenyak dan terpesona memandangi Pardo. Kali ini tidak ada lagi bayangan. Aku bisa memandang wajah dan tubuhnya seutuhnya.Selayaknya manusia.
Mata kami saling bersitatap, meskipun wajah ganteng itu masih diam dengan wajah datar.

"Kenapa kamu? Say something please", pintaku.

"Kamu cantik tapi bodoh!"

Eh? Apa yang dia bilang barusan? Aku cantik? Kuabaikan kata yang satu lagi.

"Aku kan sudah bilang bahwa semuanya tergantung sama kamu. Ingat apa yang kamu bilang sewaktu di gudang bawah?"

Aku mengernyit. Tidak paham.

Tunjukin suara lo!

Suaraku sendiri. Menggema di kamar yang luas ini.

"Karna perintah kamu, makanya suaraku bisa terdengar olehmu", jelas Pardo.

Coba wujud lo beneran ada di sini.

GITAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang