First Anniversary

71 4 0
                                    

Oleh
Owneva14

Di tengah gelapnya malam, seorang wanita berdiri memandang langit dari balkon kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di tengah gelapnya malam, seorang wanita berdiri memandang langit dari balkon kamarnya. Ia teringat hari dimana ia menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Karina. Sekian lama ia menghilang tanpa jejak. Wanita berusia 25 tahun itu meneteskan air lewat mata sayunya. Rindu. Itulah yang ia rasakan. Beruntunglah ia, selama ini masih memiliki kekasih yang setia menemaninya, Tirta. Seperti makna namanya, ia selalu memberikan kesegaran kala Zahra dirundung nestapa. Ia selalu punya cara menghiburnya.

-----

Mentari enggan memancarkan sinarnya. Ia bersembunyi dibalik awan hitam dan guyuran hujan. Zahra mengibaskan rambutnya yang basah terkena air hujan. Ia memasuki sebuahcaffe tempat dimana ia akan menemui kekasihnya.

"Hai, udah lama nunggu ?" sapa Zahra menghampiri pria yang duduk sendirian di sudut caffe.

Dengan senyum mengembang pria itu mengisyaratkan Zahra agar duduk.

"Aku merindukanmu," ujarnya. Zahra terkekeh.

"Benarkah ? Padahal setiap menit kau bertukar kabar denganku," ejeknya.

"Ternyata, aku masih saja tak bisa romantis ya ?" Tirta tersenyum geli. Zahra mengangguk menahan tawanya.

"Kau tak perlu menjadi romantis, karena dinginmu bagiku sudah sangat manis," celetuknya sambil menundukkan kepala menahan malu.

"Hahaha... rupanya kau mulai belajar merayuku nona."

"Sudalah Ta, anggap saja aku tak mengatakannya."

Seperti itulah mereka, tak pernah romantis seperti pasangan pada umumnya. Mereka lebih seperti sahabat, saling melengkapi dan bersama kala senang maupun sedih. Hampir setahun mereka bersama sebagai pasangan, tak jarang pula mereka bertengkar karena hal-hal sepele. Namun, tak butuh waktu lama mereka berbaikan. Karena mereka tak akan bisa berjauhan.

-----

Zahra berlari di lorong rumah sakit. Bagai disambar petir di pagi buta, kabar dari Tirta membuatnya terkejut tak terkira. Sahabatnya, ditemukan keberadaannya. Namun, bukan bahagia malah kecewa yang ia rasa. Kecewa pada dirinya sendiri. Kecewa karena keterlambatannya menemukan sahabatnya yang kini terbaring tak berdaya di rumah sakit.

"Mengapa bisa seperti ini Kak ?" tanya Zahra pada Rasya, Kakak Karina. Ia menatap sahabatnya dari kejauhan. Rasya sendirilah yang memintanya agar tak menemui Karina.

"Bisa kita bicara sebentar ?" Zahra mengangguk.

----

Zahra meminta Tirta untuk menjemputnya di rumah sakit. Di dalam perjalan pulang, tak ada satupun dari mereka yang angkat bicara.

Hening. Itulah suasana yang mereka rasakan kali ini, Tirta paham bahwa kekasihnya saat ini sedang dalam keadaan tak baik. Ia lebih memilih diam, memberikan waktu untuk Zahra.

"Ta," lirihnya.

Tirta menatapnya penuh sayang, sambil sesekali melihat jalanan.

"Aku ingin kita putus !"

Cittttt....

Suara gesekan ban mobil dengan jalanan memekakan telinga. Mereka yang duduk dalam mobil pun terlonjak dari posisinya. Beruntunglah mereka memakai sabuk pengaman.

"Apa yang kau bicarakan Za ?!" tanya Tirta menatap Zahra tak percaya.

"Apa kau tak mencintaiku lagi ?" tatapannya berubah sendu. Zahra menahan tangisnya yang hampir pecah. Ia mencoba menguatkan dirinya untuk manatap Tirta.

"Kau pernah mendengar bahwa cinta tak harus memiliki ? Aku tahu kau sangat mencintaiku begitu pun sebaliknya, tapi tahukah kau bahwa ketika kita bersama selama ini ada orang merasa tersakiti bahkan ia harus memperjuangkan hidupnya sendirian dengan beban sakit hati."

"Apa maksudmu Za ?" tanya Tirta yang masih menahan emosinya.

"Karina mencintai seseorang,"

"Lalu apa hubungannya dengan kita ?"

"Aku telah menyakitinya Ta, selama setahun ini ia berjuang sendirian melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Sedangkan aku, sebagai sahabatnya tak pernah tahu keberadaannya, kabarnya dan bahkan aku bersama orang yang ia cintai dalam diam, yaitu-" Zahra tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Aku ?" tanya Tirta. Zahra mengangguk.

"Kita akan cari solusinya," ujar Tirta menenangkan. Zahra menggeleng.

"Kau mencintaiku bukan ?" Tirta mengangguk.

"Bahagiakanlah Karina disisa hidupnya, menikahlah dengannya dan jadilah orang yang selalu ada di sisinya, menjaganya dengan segenap jiwa dan ragamu. Lakukanlah jika kau memang benar mencintaiku, dan jangan pernah katakan apapun padanya tentang permintaanku ini."

"Kita memang tak bisa bersama Ta, tapi kita masih bisa berdampingan seperti air dan minyak. Walaupun hanya sekedar teman." Zahra turun dari mobil meninggalkan Tirta yang masih tercengang.

-----

Sejak hari itu Zahra dan Tirta tak pernah bertemu dan tak pernah bertukar kabar. Hingga 11 hari kemudian, Karina telah sadar dari komanya. Hari ini, adalah hari pertunangan Tirta dan Karina. Zahra yang mendapatkan undangan tersebut tersenyum kecut. Ia mencoba berbahagia walaupun sejujurnya hatinya amat terluka.

"Aku hanya punya dua pilihan, merelakan atau kehilangan." Zahra mengusap cairan bening yang menetes dari pelupuk matanya.

----

Hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi Karina, apalagi kalau bukan hari pertunangannya dengan Tirta. Ia tak pernah tahu bahwa dibalik kebahagiaannya ada hati yang menjerit karena keputusan mereka. Tirta terlihat sangat tampan mengenakan tuxedodengan dasi kupu-kupu. Karina mengenakan gaun panjang berwarna peach dengan rambut yang tertata rapih diberi sedikit hiasan. Polesan make up mengelabui para tamu yang melihat Karina. Acara pertukaran cincin dimulai.

"Mencintaimu seperti menggenggam mawar, indah namun menyakitkan." batin Tirta.

Zahra berusaha menahan tangisnya yang sedari tadi ingin pecah. Tubuhnya mulai bergetar. Matanya berkunang-kunang.

"Hal yang paling ku benci di dunia ini adalah berpura-pura bahagia walaupun terluka. Itu sama seperti aku bermuka dua," batinnya.

Zahra ikut memberikan selamat pada Karina dan Tirta. Kemudian, ia pergi meninggalkan acara tersebut untuk menenangkan diri di halaman depan. Tirta pamit ingin ke belakang. Tapi, ia malah menyusul Zahra yang sedang berdiri menatap langit yang temaram. Ia memeluk Zahra dari belakang. Menopangkan dagunya di pundak Zahra.

"Kau selalu saja seperti ini Za, tubuhmu terlihat kuat padahal hatimu sangatlah rapuh," bisik Tirta.

"Jangan pernah mengorbankan apa yang seharusnya ada bersamamu, apalagi untuk menjaga perasaan orang lain. Biarkanlah tawa dan luka berjalan semestinya. Karena kau tak bisa memaksakan agar orang lain selalu bahagia." lirihnya.

"Happy failed first anniversary Zahra Nayla...."

FIN

F L A S H  F I C T I O NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang