Oleh
brilliantiirzaAku berada di mushola rumah sakit. Memanjatkan bait-bait doa dalam telapakku yang bergetar untuk gadisku. Aku merasa lemah, entah karena bau khas rumah sakit atau suasana tak bahagia yang selalu memeluk setiap orang yang berkunjung ke tempat ini. Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku yang dingin, mengakhiri segenap doaku. Aku berjalan menaiki tangga perlahan. Dengan hati yang getir, aku terus berucap
"Angkatlah penyakit gadisku, jangan biarkan dia menderita!'
Aku berjalan lurus melalui lorong putih panjang. Bau antiseptik menguar di sana-sini. Beberapa suster berjalan cepat sambil mendorong ranjang dan tiang infus. Aku tak perlu lagi bertanya di kamar mana gadisku berada. Aku sudah hapal. Sangat hapal. Sudah dua minggu ini dia belum sadar, seusai operasi pengangkatan kanker sialan yang mendekam di otaknya.
Aku membuka pintu kamar itu perlahan. Dia masih terbaring disana. Lemah. Wajah cantiknya yang pucat dan layu. Tangannya tergulai dengan selang infus yang menyambung. Alat itu pun terus berbunyi, aku bersyukur alat itu masih berbunyi. Bip ... bip ... bip, tanda gadisku masih hidup.
Aku menggenggam tangan lemahnya yang pucat dan dingin. Mengecupnya perlahan, dengan nafas tercekat menahan tangis. Tangan pucat itu bergerak. Aku terkejut. Perlahan gadisku membuka matanya. Wajahnya yang sayu tapi tidak memudarkan kilau mata indahnya. Dia menatap mataku, lalu tersenyum. Kecil tapi cantik.
"Akan kupanggilkan suster, sayang", ucapku seraya bangkit dari tempat dudukku
Dia tersenyum lalu mengangguk pelan. Aku berjalan cepat mencari suster di sekitar. Lalu berkata padanya bahwa gadisku sudah sadar. Suster itu segera memberitahu dokter dan melakukan pemeriksaan pada gadisku. Aku duduk dengan gelisah di bangku panjang yang telah disediakan. Aku masih ingat awal mulanya hingga gadisku berakhir disini.
FLASHBACK: ON
Hari itu aku mengajak gadisku ke sebuah mall ternama. Aku telah menyiapkan semuanya. Rencananya aku ingin melamarnya hari itu. Dia mengenakan gaun tanpa lengan berwarna tosca dengan panjang selutut, cantik. Aku mengajaknya menyantap hidangan di salah satu restoran di sana. Aku bersekongkol dengan sang koki agar meletakkan cincinku di makanannya.
Makanan telah dihidangkan. Jantungku berdebar kencang. Entah karena aku akan melamar gadisku atau karena dia menyantap hidangan dengan begitu anggun tanpa berhenti menatapku dan tersenyum. Sampai pada suapan terakhir, dia mendapati cincin disana, menatap mataku. Aku mengucap empat kata itu
"Will you marry me?" Aku berlutut dengan membawa cincin itu, dia berdiri dihadapanku sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan putihnya yang lembut. Lalu, tiba-tiba dia jatuh. Aku dengan sigap menangkap tubuhnya. Tangannya terkulai, hidungnya berdarah!
Aku berlari membawanya ke rumah sakit terdekat.
FLASHBACK: OFF
Dokter keluar dari ruangan gadisku. Membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. Tanpa aku bertanya, dia berkata
"Sebenarnya ... keadaannya memburuk"
Mataku membesar. Nafasku tercekat. Apa aku tidak salah dengar?
"Dia ingin menemui anda", ucap suster yang baru saja keluar dari ruangan itu dengan membawa beberapa alat yang aku sama sekali tidak tahu fungsinya. Aku berjalan cepat memasuki ruangan gadisku. Dia bangkit setengah duduk di ranjang itu, menatapku masih dengan senyum mengembang.
"Sayang ...." panggilnya, aku tidak menjawabnya, suaraku tertahan "jika nanti tiba saatnya aku pergi, kamu jangan nangisin aku ya", tambahnya
"Kamu ga boleh pergi", ucapku "kamu harus tetep di sini, nemenin aku, nikah sama aku, nanti kita punya anak, kita bakal tua bareng-bareng sayang"
"Nggak, sayang. Kamu ga boleh nikah sama aku, aku penyakitan. Aku ga mau kamu atau anak kita nanti sama penyakitannya", ucapnya lirih
"Soal pernikahan itu, kita bicarain di rumah aja. Yang jelas kamu ga boleh pergi"
"Aku ga yakin aku bakal pulang", ucapnya lagi, kali ini wajahnya tertunduk
"Kamu pasti pulang, kamu harus pulang!" Hampir saja air mata ini meluncur seenaknya, tapi aku menahannya kuat-kuat. Aku harus terlihat kuat dihadapan gadisku
"Ini takdirku untuk pergi dan tidak tinggal denganmu. Tapi percayalah sayang, aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu hingga akhir nafasku nanti",
"Setidaknya berbohonglah padaku bahwa kamu bakal terus disini sayang! Bahwa kamu bakal nemenin hari-hariku sampai kita sama tuanya nanti! Tell me a lie!"
"Aku cinta kamu, sayang. Till my last breath, I still love you", mata indah itu perlahan menutup, senyum tulus itu memudar, dan ... alat itu berhenti berbunyi, meninggalkan suara 'bip' panjang. Membuatku menyadari sebuah kenyataan perih yang harus kuterima.
GADISKU TELAH TIADA
Aku terpaku. Pandanganku buram terbalut kabut kesedihan. Tapi tak setetes pun air mata jatuh dari mataku. Aku benar-benar terkejut. Masih belum rela. Tapi apa yang bisa kuperbuat. Aku masih mematung. Melihat wanita-wanita berseragam putih itu membawa gadisku, perlahan hilang di lorong putih nan kelam.
Aku masih mematung di ruang ini. Ruang kosong ini. Betapa cepat dan mudahnya gadisku pergi. Hingga aku pun tersadar.
Gadisku hanya terlalu indah untuk menjadi nyata bagiku. Semua angan itu terlalu indah jika aku mendapatkannya. Aku memang tidak sepantasnya menolak takdir. Lagipula dengan begini, gadisku tidak sakit lagi. Tidak menderita lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
F L A S H F I C T I O N
De Todo● KUMPULAN FLASH FICTION ANAK-ANAK WRITER'S COLOR 1ST ● GENRE RANDOM