Chapter 2

163 18 6
                                    

Malam pun tiba, kami semua berkumpul di meja makan untuk makan malam. Aku melirik hana yang duduk di sebelahku. Gadis itu makan dengan tatapan kosong. Aku menatapnya cemas.

Mungkin, hana masih belum terbiasa makan malam bersama seperti ini.

Kalau di pikir-pikir, aku masih belum tahu bagaimana keseharian hana sebelum dia menjadi adikku. Yang aku tahu, dia tinggal di sebuah apaterment kecil berdua dengan ibunya.

"Hana, bagaimana sekolahmu hari ini?" Tanya ayah. Hana menatap ayah.

"Baik." Jawabnya singkat.

"Begitukah, baguslah." Ayah menoleh kearahku. "Jaga hana di sekolah, haru." Ujar ayah. Aku mengangguk.

"Tentu saja, ayah." Jawabku.

"Bagaimana hana? Apa masakan ibu enak?" Tanya ibu dengan senyum. 

Hana terkesiap mendengar suara ibuku. Gadis itu menatap ibuku, lalu menggigit bibirnya kecil.

Hana menyuap makanannya sekali, lalu ia berdiri. Aku, ayah, dan ibu menatapnya bingung.

"Terima kasih atas makanannya." Ucap hana, lalu ia pergi meminggalkan kami menuju lantai dua.

Aku menatap hana dengan khawatir. Jika ibuku yang bertanya atau menegur hana, dia pasti menjadi seperti itu. Aku tidak mengerti kenapa hana begitu pada ibuku.

"Hana masih belum bisa menerima semuanya." Kata ayah. Aku dan ibu menoleh kearah ayah.

"Hana sangat kaget ketika dia tahu bahwa dia mempunyai seorang ayah. Pertama kali hana bertemu denganku, dia sangat marah dan kesal..."

"...hana seperti membenciku, berapa kali aku membujuknya untuk tinggal bersamaku, tapi dia terus menolak. Namun hana harus ikut denganku, karena hanya aku satu-satunya keluarganya." Jelas ayah.

"Apa hana tidak mempunyai keluarga lain? Seperti nenek dan kakek?" Tanyaku. Ayah menggeleng.

"Hirako, ibu hana, hidup sebatang kara. Jadi hana tidak mempunyai keluarga lagi." Jawab ayah.

Aku terhenyak, jadi... hana sebatang kara semenjak ibunya meninggal...?

Tanpa sadar aku mengepalkan kedua tanganku.

Aku jadi turut pritahin dengan hirako-san, ibu hana. Beliau membesarkan hana sendirian. 

Kenapa hirako-san tidak menikah saja? Apa karena hirako-san mencintai ayahku?

Dadaku terasa sakit. Hana harus hidup tanpa seorang ayah.

"Haru," aku tersadarkan dan menoleh kearah ibuku.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya ibu cemas. Aku mengangguk. 

"Aku tidak apa, bu." Setelah itu aku lanjut makan.

Makan malam pun selesai, aku membantu ibu beres-beres dan mencuci piring. Setelah semua sudah beres, aku berjalan ke lantai atas menuju kamarku.

Ketika aku hendak naik tangga, tiba-tiba petir yang sangat dahsyat menggelegar. Aku terkejut, dan terdiam.

Petir tadi sangat menggelegar, mungkin sebentar lagi akan hujan. 

Tiba-tiba hujan deras terdengar dari rumah. Aku mendesah kecil, ternyata memang hujan. Uwah, malam ini akan sangat dingin.

Aku berjalan menuju kamarku, ketika aku melewati kamar hana. Aku berdiam diri. Aku menoleh kearah kamar hana.

Hana...

Tiba-tiba lampu mati. Mungkin akibar petir dahsyat barusan, makanya lampu mati.

Aku merogoh kantong celanaku, mengambil smartphoneku dan menyalakan flashlight. Aku berjalan menuju kamar hana dan mengetuknya dua kali.

"Hana, apa kau ada penerang?" tanyaku dari luar. Jika aku langsung masuk, dia akan marah.

Tidak ada jawaban.

Aku mengetuk pintunya lagi, masih tidak ada jawaban. Apa dia sudah tidur?

Ku buka pintu kamarnya dan masuk ke dalam, aku mengangkat alisku.

Hana tidak ada. Ku sapu pandangan di kamarnya, gadis itu tidak ada.

*buk!*

Aku menoleh kearah lemari pakaian, ada suara aneh dari lemari pakaian. Aku berjalan mendekati lemari pakaian, dan ku buka pintu lemari pakaian hana.

"Eh? Hana, apa yang kau lakukan di dalam lemari?" tanyaku heran.

Hana duduk di dalam lemari sambil memeluk lututnya, wajahnya di tenggelamkan diantara lututnya.

"Hana,"

*Doar!*

Petir menyambar lagi, hana terkejut, seluruh tubuh gadis itu bergetar. Aku menatap hana dengan mata membulat. Jangan-jangan dia...

"Hana, kau takut dengan petir?" tanyaku.

Hana hanya diam, gadis itu semakin memeluk lututnya dengan erat. 

Aku menatap hana dengan sendu. Gadis yang ada di depanku takut dengan petir, rasanya aku...

Tanganku terulur ingin menyentuh kepalanya, tiba-tiba petir menggelegar lagi, kali ini sangat keras membuat hana memekik dan langsung melompat kearahku.

Aku menangkapnya. Hana memelukku dengan sangat erat, seketika wajahku memerah, jantungku sangat kencang.

"Ha, hana..." panggilku gugup. 

Ketika aku ingin melerai pelukannya, dapat kurasakan bahunya bergetar, aku menunduk untuk melihat wajah hana.

Gadis dalam pelukanku ini... menangis.

Jantungku berdegup kencang, darahku berdesir hangat, tatapanku berubah menjadi sendu. 

Tanganku terangkat membalas pelukannya, ku taruh daguku di puncak kepalanya.

"Kau tidak usah takut. Ada aku di sini. Aku akan selalu bersamamu, hana." Bisikku.

Bahunya berhenti bergetar, dapat ku rasakan tubuh hana menjadi rileks, sepertinya dia sudah agak tenang.

Tiba-tiba, lampu kamar hana menyala dan semua terlihat jelas. Aku dan hana sama-sama terkesiap ketika lampu menyala.

Tiba-tiba, hana mendorongku dengan keras membuat pelukan kami terlepas. 

Aku menatap hana dengan bingung, sedangkan hana, wajahnya memerah sepenuhnya.

"K, kau..." ucapnya dengan nada tertahankan.

"Hana, jika kau takut dengan petir, kau bisa datang ke kamarku." Ujarku dengan nada khawatir. Hana tersentak, wajahnya semakin merah.

"A, apa kau katakan, hentai!!" hana langsung mengambil bantal dan memukulkan bantal itu kearahku.

"Woa! Hana! Tenanglah!" ujarku sambil menghindari pukulannya.

"Berani-beraninya kau mengambil kesempatan dengan memelukku!!" kesalnya.

"Tunggu dulu! Kau yang melompat kearahku duluan! Aku juga kaget!!" ujarku membela diri.

"Banyak alasan!!" kesalnya.

"Tunggu, hana! Onii-chan Cuma mau menenangkanmu! Kau kan takut petir!"

Hana menggeram kesal, gadis itu berhenti memukulku tapi dia melempar bantalnya dengan keras kearah wajahku.

"Siapa Onii-chan!?! Keluar sana!!" ketus hana, gadis itu berjalan kearahku dan mendorongku keluar dari kamarnya.

Gadis itu langsung menutup pintu kamarnya dengan keras.

Aku menghela napas berat, tanganku terangkat menyentuh rambutku.

Kih, sikap kasarnya itu mengganggu saja.

Aku menghendikkan bahuku dan pergi dari situ. Aku masuk ke kamarku.

Tapi tadi... hana kawaii sekali.

"Kimi no Kokoro"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang