Chapter 4

1.5K 104 1
                                    

VOTE SEBELUM BACA !!

***

Aku membuka pintu rumah Zayn. Kurasa jika aku mengunjunginya, rasa penasaranku akan berkurang. Ia tidak memberikan kabar padaku. Dan membuatku cukup khawatir akan keadaannya. Khawatir karena dia adalah sahabat yang paling pengertian dan sahabat andalanku. Aku lebih menyayangi Zayn daripada Justin. Tapi aku mecintai Justin. Kau tahu apa bedanya.

Justin memintaku untuk tidak datang ke rumah Zayn tapi aku memaksanya. Meski ia tidak ikut turun bersamaku masuk ke dalam rumah Zayn. Kurasa ia ada benarnya juga. Justin meninggalkanku di rumah Zayn, dan dia bilang jika aku ingin pulang, aku harus menghubunginya agar ia menjemputku. Ketakutan terbesarku adalah melihat orang yang kusayang tersakiti. Aku tidak pernah dan tidak ingin melihat mereka yang kusayangi sakit hati karena perbuatanku. Dan aku tahu, sudah sering sekali aku membuat mereka sakit hati. Ah, apa yang kubicarakan. Aku sudah berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik. Meski belum benar-benar terjadi.

"Zayn? Apa kau di rumah?" teriakku menutup pintu rumahnya. Lampu ruang tamunya menyala dan aku bisa mendengar suara televisi yang menyala. Aku melangkahkan kakiku untuk masuk lebih dalam lagi. Dan mendapatkan Zayn yang sedang ..merokok? Sial! Mengapa ia merokok? Dan apa itu? Ia meminum 5 botol bir? Tolol! Dengan cepat aku melangkahkan kakiku padanya.

Kutarik rokok yang terjepit di antara bibirnya, membuangnya, dan menginjak-injakannya ke lantai. Kuambil satu per satu botol bir yang berada di atas lantai dan membantingnya hingga pecah. Napasku memburu dan menatap Zayn dengan amarah yang meluap. Aku benci dia yang seperti ini. Tuhan! Apa Kau bisa memberitahuku apa yang sedang terjadi dengan kedua sahabat terdekatku? Karena mereka ..astaga. Aku tidak menjelaskannya dengan kata-kata.

"Apa yang kaulakukan di sini, Deep?" tanyanya terdengar santai, tentu saja. Ia mabu dan terbaring santai di atas sofanya dan menyeringai padaku. Seakan-akan ia melihat orang gila yang berada di depannya. Menghancurkan botol-botol bir yang kosong.

"Zayn, apa yang terjadi denganmu?" tanyaku penuh dengan nada yang khawatir. Kujatuhkan bokongku di atas sofa dan menyentuh pipi Zayn dengan penuh rasa kasihan. Apa yang membuatnya depresi? Kebohonganku dengan Justin? Astaga, aku harus segera meluruskan ini.

"Deep, kau sangat tidak peka, sayang," ia sungguh mabuk. Tangannya yang bertato itu memegang tanganku yang berada di pipinya. Ia mengelusnya dengan pelan. Mataku memancarkan rasa penuh sayang padanya. Tidak mungkin ini terjadi. Ia tidak mungkin mencintaiku karena aku tidak pernah merasakannya. Benarkah? Segala perhatian yang ia berikan dan aku tidak merasakannya? Cukup tidak adil baginya.

"Zayn, bicaralah padaku. Ada apa?" tanyaku mengelus pipinya, tangannya memegang erat tanganku. Ia tertawa-tawa bagaikan orang gila. Oh, apa ini sedang terjadi? Karena kau ingin pisau berada di tanganku sekarang.

"Kau hamil, Deep. Apa kau tidak merasakannya? Aku. Menyukaimu. Lama. Sekali. Dan. Kau. Hamil. Apa. Itu. Sudah. Cukup?" tanyanya. Aku tidak terkejut dengan pernyataannya itu. Setelah ia memanggilku dengan panggilan 'sayang'. Ia mengelus-elus punggung tanganku dengan lembut dan matanya begitu sayu. Giginya terlihat dari sini, senyuman cabul yang ia miliki. Astaga!

"Zayn, aku tidak pernah berpik-"

"Tidak apa, Deep. Kau sudah menjatuhkanku keras sekali. Dan aku sadar, Justin memang layak memilikimu,"

"Kenapa kau bilang seperti itu, Zayn? Tidak adil," ujarku dengan air mata yang sudah membendung sekarang. Sial! Mengapa aku bisa menyakitinya seperti ini? Ia begitu terpuruk dan aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Ia tertawa dengan keras, seolah-olah apa yang kukatakan padanya adalah candaan. Tidak, itu tidak sama sekali.

DEEP || Herren JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang