Third part 2

48 4 1
                                    

Damian Jean Lintoln

Sebuah mobil baru saja menghantam pembatas jalan hingga masuk ke jalur arah yang sebaliknya dan menabrak mobil lainnya, suara decitan mobil dan hantaman kedua mobil itu tak terelakkan.

Aku menatap nya yang berada di sebelah ku dan melihat wajahnya mulai memucat. Apa yang ku khawatirkan terjadi, aku mendekapnya tepat sebelum ia terjatuh.

Ketika matanya mulai memejam aku mengguncang bahunya pelan. Membisikannya agar tak tertidur di saat seperti ini, karena aku takut kondisinya akan semakin memburuk.

"Claire ku mohon, bangunlah!Jangan pejamkan mata mu!"

"Bangunlah.. Bertahanlah.. ku mohon" dan ia pun terpejam tak menghiraukan permohonan ku.

Dengan panik aku menggendongnya menuju mobil ku. Saat ini fokus ku hanya pada dua hal membawanya dengan selamat ke apartment ku. dan memanggil dokter.

Segala pikiran berkelebat di dalam benak ku. Ya tuhan selamatkan wanita yang sangat berarti bagi ku ini.

Sial! Mengapa di saat seperti ini aku menjadi lengah. Demi tuhan Damian kau sudah berjanji akan menjaganya! Damn it!

Aku tahu kejadian seperti ini bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Tapi ya tuhan.. kenapa harus di saat ia berada di sisi ku? Mengapa bayang-bayang masa lalu selalu menghantuinya?

13 year's ago

Kami sekeluarga pergi berpiknik di sebuah taman yang hanya beberapa blok jauhnya dari perumahan. Aku membaca buku sambil mengawasi Peter yang sedang bermain dengan Claire.

Peter sangat manja dengan Claire di bandingkan dengan ku yang kakak lelakinya sendiri.

"Kak Claire jangan tinggalkan aku" Pinta Peter dengan manja.

"Iya" balas Claire dengan sayang, dan mengusap rambut Peter.

Mereka saling berkejar-kejaran, membuat ku yang melihatnya ingin ikut bergabung dengan mereka. Aku menutup buku yang menjadi hadiah ulang tahun pemberian Claire.

Aku berjalan menghampiri mereka saat Peter berlari keluar taman yang di ikuti dengan Claire.

Tiba-tiba suara keras klakson mobil menyadarkan ku, dari arah tikungan sebuah mobil melaju dengan sangat kencang. Aku hanya punya waktu satu menit sebelum mobil itu menghantam mereka..

Brakk..

Aku menyadari tubuh ku telah berhasil mendorong mereka saat mendengar teriakan dari kedua orang tua ku. Arrgh.. aku meringis menyadari adanya kemungkinan salah satu bagian tubuh ku yang patah.

Mama dan Papa berlari menghampiri kami, dan mobil yang menabrak kami lari begitu saja.

Mama menangis sambil berusaha mengecek keadaan kami dan Papa berusaha memanggil ambulance dengan handphonenya.

Di saat itulah Claire tiba-tiba menjerit dan wajahnya yang beberapa saat lalu masih penuh rona kebahagiaan kini berubah pucat-pasi dan kesakitan, lalu pada detik berikutnya Claire sudah tak sadarkan diri. Mama mendekap Claire dan Papa memepercepat instruksi di ponselnya.

...................

Tersadar berada di ranjang rumah sakit dengan seorang dokter yang baru saja selesai membebat bahu ku. Secara otomatis mata ku menelusuri ruangan ini hingga manemukan sosoknya. Papa memandang ku lega namun masih tersimpan kecemasan di dalam matanya itu. Aku berusaha menegluarkan kata yang tertahan di tenggorokan ku.

"Clai-re? Pet-ter?" Tanya ku akhirnya dengan suara serak.

"Ada di ruang ICCU" balasnya singkat berusaha menenangkan ku.

Tanpa sadar aku sudah berusaha bangun dari ranjang ku namun dokter mencegah ku.

"Anda belum boleh banyak bergerak"
ucap dokter itu yang memperingatkan ku dengan pandangan tegas.

Aku memandang Papa berusaha meminta pertolongannya. Aku tidak bisa diam menunggu tanpa melihat mereka. Aku membiarkan Papa melihat kecemasan di kedua mata ku.

Papa membuang nafasnya berat dan mengajak dokter berbicara.

Setelah diskusi Papa dengan Dokter, akhirnya aku di perbolehkan menengok kondisi Claire dengan menggunakan kursi roda.

Papa mendorong ku dan pikran ku menjadi kalut berpacu dengan detak jantung ku yang semakin kencang. Aku tahu bukan hanya aku saja yang cemas, Papa juga pasti mencemaskan mereka ia hanya berusaha lebih tenang.

Pandangan penuh kecemasan tercetak pada kami berdua.
Claire sudah di pindahkan ke ruang rawat inap beberapa menit yang lalu.

Begitu sampai, Mama yang tadinya menggenggam tangan Claire langsung beralih memeluk ku. Mengamati setiap jengkal tubuh ku ia meringis melihat perban di sekujur lengan dan bahu ku, bersiap menangis. Tapi aku memberikannya senyum terbaik ku dan ia pun menyeka matanya lalu membalas senyum ku.

Claire masih terpejam dengan alat bantu pernapasan, selang infuse, dan monitor detak jantung yang menyokongnya.

Papa merangkul Mama, dan di saat itulah dokter dan seorang suster menghampiri kami membawa Peter yang berada dalam gendongannya. Papa mengambil alih Peter dari gendongan suster itu lalu mencium puncak kepalanya. Mama melakukan hal yang sama pada seluruh bagian wajah Peter kecuali dahinya yang tertutup perban. lalu Dokter mengajak kami ke ruangannya untuk membicarakan keadaan Claire lebih lanjut.

...................

"Putri anda tidak mengalami benturan yang parah saat ini kondisinya sudah stabil. Hanya saja kesadarannya belum kembali akibat shock yang di terima otaknya. Saya mendiagnosa Claire mengalami Dystychiphobia. Hal ini bisa terjadi akibat putri anda mengalami trauma serius terhadap kecelakaan. Sehingga saat informasi mengenai hal tersebut menyinggungnya, itu akan memicu sebuah reaksi dari rasa sakit akibat kecelakaan yang di ingat oleh tubuh putri anda" ucap dokter itu serius.

Mama menahan air matanya yang hampir tumpah dengan jemarinya, sambil mengelus kepala ku. Papa yang menggendong Peter kini menggenggam tangan mama dengan tangan lainnya yang bebas.

Berdasarkan hasil diagnosa dokter kami sepakat untuk menjauhkan Claire dari segala hal bertitle kecelakaan. dan dua hari kemudian Claire sadar dengan melupakan hal yang telah terjadi sebelumnya.

..................

Damian's Apartment

"Chyntia cancel semua meeting saya hari ini"

"......"

"Ya termasuk yang itu. Minta sekretaris Mr.Louis me-reschedule meeting hari ini"

"........"

"Ya, terimakasih Chyntia" ucap ku mengakhiri pembicaraan lewat ponsel ku.

Aku hanya bisa terfokus pada kondisi Claire saat ini. Setelah dokter keluarga kami pulang dan menyuntikan obat penenang ke dalam nadinya. Aku membiarkannya tetap terlelap di kamar kedua apartment-ku. Mama menghubungi ku terlebih dulu sebelum aku sempat menghubunginya.

Aku menenangkannya yang panik, dan berjanji akan merawat Claire. Ia bilang akan datang besok untuk memastikan keadaan Claire. Tetapi aku memintanya kelonggaran agar Claire bisa lebih tenang dulu sebelum di bombardir dengan kecemasannya.

Jadi aku berjanji akan membawa Claire pulang di hari berikutnya. Aku hanya tersenyum menanggapi setiap instruksi yang ia berikan lewat telephone selama aku merawat Claire.

Seusai pembicaraan ku dengan Mama aku kembali menengok kondisi Claire.

Membawa semangkuk air es untuk mengganti kompressnya dan kemeja ku untuk mengganti pakaiannya yang sudah basah oleh keringat.

................

Let me with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang