37. Abdi, Vina?

107 9 11
                                    

Langit kini biru, matahari juga tidak mau kalah, dia terus memancarkan cahaya, seolah mereka senang karena satu diantara makhluk bumi sudah tidak menderita akibat penyakitnya.

Siang kini, Abdi di makam kan, di makam kan agar tenang, di makam kan karena mereka sayang.

Erna dan Anto masih setia di kuburan anak mereka, anak satu-satunya, yang hanya dititipkan sebentar saja oleh Yang Maha Kuasa.

Teman-temannya juga masih setia, sesekali mereka menggeleng tidak menyangka, sesekali juga ada yang menangis, karena baru tau berita ini.

Alvin memandang makam Abdi nanar, matanya nyaris sembab karena terus menangisi sahabatnya itu. Maklum, Alvin sudah mengangap Abdi lebih dari sahabat, Abdi adalah seorang Kakak yang menjadi panutan.

"Vin, lo tadi kenapa enggak sekolah?" Tanya Ava dengan suara yang lembut, mungkin mencoba mengajak Alvin berbicara agar Alvin sedikit lupa tentang kesedihan hari ini.

Alvin menoleh. "Kenapa? Lo mau minta uang kas?" Tanyanya yang kemudian tertunduk lagi. "Besok gue bayar, takut banget. Sampe dikuburan di tagih gini."

Sadar pembicaraannya salah, Ava langsung meminta maaf. "Maaf ya, Vin. Tapi bukan itu maksud gue."

Alvin berdiri karena dari tadi berjongkok, betisnya sudah pegal, ia juga males kalau ketemu Ava yang ujungnya malah minta uang kas.

"Vin, demi tuhan. Gue enggak maksud. Lo jangan marah dong." Pinta Ava.

Alvin tidak menjawab, dia malah pergi, untuk menghindar dari sang rentenir kelas.

"Woi," Kini Vino yang memanggil Alvin sambil membawa aqua cup ditangannya.

Alvin menoleh dan tanpa diduga, ia memeluk Vino dan kemudian melepaskannya. "Vin? Selamat elo udah gue anggap sebagai saudara gue. Jangan sering makan mie instan ya, dara."
Dara maksud Alvin adalah kata terakhir dari sau-dara.

Vino bergedik jijik. "Plis, Vin, sadar. Jangan karena kehilangan Abdi, lo jadi homo."

Alvin tertawa, maksud hati ingin menghibur diri sendiri, malah dikatain homo. "Setan, yaudah deh, gue mau pulang. Dari semalem belum nyentuh masakan nyokap."

Vino mengangguk dan kemudian berkata lagi, karena teringat sesuatu. "Besok bawa flash disk, anak-anak, Vin."

Mendengar perkataan cowok yang masih berseragam SMA lengkap itu Alvin baru teringat kalau masa skors-nya sudah habis, berarti dia harus mengembalikan flash disk anak-anak. Namun, mau bagaimana? Setengahnya ada di Abdi. Enggak mungkin kan dia memohon ke Erna untuk dicariin flash disk-nya, kan Erna lagi berduka.

"Nanti gue pikirin." Jawab Alvin dan segera meninggalkan pemakaman Abdi.

Alvin segera menaiki taksi, dan segera di aktifkannya ponselnya berharap ada hiburan, tak lama setelah dihidupkan, ponselnya berbunyi nyaring, membuat supir taksi melirik ke arahnya dengan pandangan terkejut.

Alvin tertawa melihat ekspresi Pak supir dari kaca spion. "Bukan bom kok, Pak."

"Saya kaget aja, Dik. Pacarnya nyariin ya?"

Lagi-lagi Alvin terkekeh. "Bukan."

Pak supir yang mau tahu itu, mengajukan pertanyaan lagi. "Bukan atau bukan?"

"Bukan," jawab Alvin. "Bukan urusan Bapak." Lanjut Alvin dingin.

Perkataan Alvin membuat sopir taksi itu tidak enak, namun berusaha dibawa santai dan beralih fokus ke jalanan.

Alvin yang tidak suka suasana canggung kembali membuka suara agar terjadi percakapan yang memusnahkan hening. "Notifnya pesan semua nih, Pak. Kalau ada yang dari cewek, saya ajak makan, deh."

Dear diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang