Bab 17

11.5K 551 2
                                    

"Hay sayang. Bagaimana kabarmu hari ini?"

Naomi membenarkan selimut yang menutupi tubuh Sean yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.

"Maaf aku terlambat datang, tadi pagi-pagi sekali aku merasa mual dan muntah-muntah. kau tahu, kata ibu itu biasa bagi wanita yang sedang hamil muda, tapi tetap saja rasanya tidak enak." Lanjutnya sambil mengerucutkan bibir.

"Sudah 2minggu aku tinggal di mansion, tapi aku merasa rindu dengan appartement kita. Karena itu cepatlah bangun supaya ibu tidak mengomeliku lagi dan membiarkanku kembali ke appartement."

Tanpa di sadari Naomi, ada Helena yang mendengarkannya dari pintu ruang rawat.
Helena sengaja tidak kembali ke Seoul. Ia mengkhawatirkan Naomi, dan meninggalkan wanita itu dalam kondisi seperti ini bukan hal yang tepat.

Sudah hampir sebulan Sean koma dan banyak sekali yang berubah dalam kehidupan Naomi.
Sekarang gadis itu lebih banyak melamun dan pendiam. Ia jadi kurus padahal ia sedang hamil 3 bulan.

Mata Helena berkaca-kaca melihat penderitaan yang di alami Naomi. Baru saja ia merasakan kebahagian dan kini Tuhan ingin kembali bermain-main padanya.

oh Tuhan... Kumohon biarkan Sean bangun dari tidur panjangnya...

***

Cassey menatap sedih pada Fabian yang duduk di meja Bar apartemennya. Pria itu tampak berantakan, matanya merah karena tidak tidur, kumisnya sudah mulai tumbuh, ia tidak lagi bercukur. Dan Fabian sudah tidak pernah keluar dari apartemennya semenjak Sean koma. Pria itu benar-benar menyiksa dirinya sendiri. Entah sudah berapa puluh botol minuman yang di teguknya, hingga baunya tercium di seluruh ruangan itu.

"Kau menyedihkan." Desis Cassey. Ia sudah hampir putus asa mencoba menyadarkan Fabian, tapi hasilnya nihil. Pria itu masih sibuk menghukum diri. "Mau sampai kapan?! Sean akan baik-baik saja Fabian, jadi berhentilah, kumohon!" Air mata mengalir di pipi Cassey, entah sudah berapa kali kalimat itu ia ucapkannya, namun Fabian masih tidak bergeming.

Pria itu tertawa kecil, bukan tawa yang menyenangkan tentu saja. "Kenapa Tuhan mempermainkanku seperti ini? Lihat, dengan tangan ini aku membunuh adikku sendiri." Katanya sambil mengangkat kedua tangannya di depan Cassey.

"Sean belum mati Fabian! Dia akan baik-baik saja!" Cassey mendekat, berdiri di depan Fabian. "Kumohon hentikan, setidaknya demi bayi kita."

Fabian hanya menatapnya, lama, sebelum matanya berkaca-kaca dan terisak. "Bagaimana bisa aku berhenti saat bayangan kematian adikku selalu ada di depan mataku?!" Fabian mendongak. "Maafkan aku."

Cassey berlutut, kini posisinya sejajar dengan Fabian, ia bisa melihat jelas wajah itu. Yang kini semakin tidur dan selalu basah oleh air mata.

Cassey memegang kedua pundak Fabian yang bergetar. "Aku dan bayi ini akan menunggumu. Jadi cepat selesaikan dendam ini dan kembali pada kami. Hmm?" Ucapnya sebelum berdiri dan berlalu pergi.

Fabian menjatuhkan tubuhnya, duduk bersandar di meja Bar. Kedua tangannya meremas rambut brutal hingga terasa menyakitkan, namun ia tidak peduli. Karna jauh di dalam sana, di hatinya, ia merasakan kesakitan yang tak terkira.

***

Naomi berlari di lorong rumah sakit dengan air mata yang berlinangan. Panggilan Helena dan ibunya di belakang tidak ia hiraukan, saat ini ia hanya ingin cepat sampai di ruang rawat Sean, dan melihatnya.

Tadi pagi-pagi sekali mansion di hebohkan dengan telepon dari rumah sakit yang mengatakan bahwa Sean sudah sadar.
Tanpa memperdulikan apapun, Naomi langsung menuju rumah sakit. Ia ingin memastikan dengan matanya sendiri bahwa Sean benar-benar sudah sadar.

Not a Cinderella storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang