April 2017
"Jeremy... Jeremy... Jeremy."
Hah, dosen gue mulai nyebut nama gue lagi. Tiga kali pula. Pasti ada yang salah lagi di skripsi gue.
"Kamu tinggal di Amerika berapa lama?"
"Berapa lama ya, lama sih, pak."
"Kamu suka ngobrol gak sama anak-anak pertukaran?"
"Jarang sih, pak." Ini dosen tujuan omongannya kemana sih.
"Bagusan bahasa Indonesia kamu apa mereka?"
...oh, gue tau. Pasti masalahnya ada di bahasa. Seperti biasa.
"Emang saya salah nulis apaan lagi, pak?"
"MENG-KE-TA-HU-I." Dosen gue ngomong dengan suara sekenceng-kencengnya sampe menggema di ruangan tersebut, mungkin dia kira gue selama ini deaf atau apa kali ya, soalnya kesalahan gue itu-itu mulu.
"Emang harusnya apa ya, pak?" Gue nanya dengan muka datar, beneran emotionless. Mungkin bentar lagi gue digebuk pake skripsi sendiri.
"Kamu tau," dia menghela napas, seakan-akan ini masalah berat banget dan bisa mempengaruhi kelangsungan hidup banyak orang. "Huruf K, T, S, dan P, kalau ketemu awalan me- harus dilebur."
"Dilebur tuh apa ya, pak? Saya taunya jebur, soalnya temen saya suka ngomong gitu, 'gue jeburin juga lo, Jae' gitu."
"Saya juga mau jeburin kamu, Jeremy. Kamu bisa berenang?"
"Bisa, pak."
"Berarti nggak bisa."
"Gimana, pak?"
"HHH." Dia mulai naro skripsi gue di mejanya seakan gak mau baca lagi. "Pokoknya. Harusnya itu 'mengetahui', dan salah kamu bukan di kata itu aja, banyak. Skripsimu tuh bagus, Jeremy. Tapi mau sampe kapan revisi cuma gara-gara bahasa Indonesia mu payah begini?"
"Ya... nanti saya belajar deh, pak."
Dia mulai mengernyit ngeliatin gue, kayaknya beneran mau digebuk pake kertas skripsi sih gue.
Tapi... "Kamu sakit, Jeremy? Daritadi kamu jawabnya lemes banget, gak kayak kamu." Perhatian abis.
Gue cuma bisa menghela napas, "Separuh jiwa saya pergi, pak."
Terus dosen gue ketawa dengernya. Parah sih. Susah loh itu. Buat ukuran Jeremy Mario Ditya, kalimat kayak gitu keluar dari mulut gue tuh keajaiban banget.
"Emangnya kamu Anang?"
Siapa lagi tuh Anang.
"Gak kenal saya, pak. Dia siapa ya?"
"Dasar kamu, bule. Udah sana pulang, benerin tuh kata-kata yang salah." Katanya sambil ngasih balik skripsi gue. "Saya tuh selalu berdoa kamu cepet lulus, Jeremy. Kamu cari penyemangat, kek, biar kamu semangat ngelarin kuliah kamu."
"Hhh, gak usah ngomongin penyemangat dulu deh, pak." Kata gue sambil jalan ke arah pintu, "Makasih, pak. Pulang dulu."
"Ya, ya, hati-hati, jangan kepentok tembok."
Dan tepat setelah dia ngomong begitu, gue beneran kepentok tembok. Kenceng lagi.
Apa hari gue gak bisa lebih sial lagi dari ini?
---
Jam 4 sore, berarti udah 2 jam gue duduk di pelataran kampus. Tanpa arah. Gak ada tujuan. Brian bahkan udah chat gue, nanyain gue dimana.
Perhatian amat lu.
Eh, jawab aja deh. Lo dimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
for: s
Romancecuriosity made us meet with each other it was just a pure curiosity she was sure; as much as i was but, life sometimes don't agree with our wishes so that it does some cruelty like letting us know that we got something special in between when we kno...