June 2017
Ketika semua orang pergi merayakan hari kelulusannya. Merayakan hari dimana akhirnya di belakang nama mereka ada gelar yang bikin mereka terlihat profesional dan educated. Gue malah memutuskan untuk langsung balik ke kosan karena rasanya gue udah gak punya energi buat hura-hura. Rencana mau makan bareng keluarga gue di restoran yang gue rekomendasiin di Bandung pun gagal total, apalagi rencana buat nongkrong-nongkrong bareng anak Enamhari.
Dan juga rencana buat ngajak Syira keliling Bandung buat yang kedua kalinya.
Nginget namanya aja rasanya hati gue udah sakit banget.
"Udah lah, Jae... You deserve better." Kata Brian yang sekarang nyetir gantiin Surya.
"Tau, Jae. Jangan pucet gitu lah. Main deh yuk, kemana kek." Ale berusaha menghibur dengan nyolek-nyolek pipi gue. Biasanya gue langsung nepis tangannya dan ngomel jokingly, tapi sekarang buat ngelakuin itu aja rasanya gue males. Jadi gue cuma bisa diem sambil mandang keluar jendela.
"Dari awal lu udah salah sih, Jae." Kata Surya tiba-tiba, gue sama sekali nggak menemukan niat menghibur dari nada bicaranya, kalau udah urusan begini Surya bisa jadi serius banget sih. "Kenapa pas lu tau kalian beda, bukannya stop?"
"Kalo aja Brian gak nyuruh Syira kesini waktu itu, itu bakal jadi awal dari perpisahan gua sama dia. Tapi gara-gara itu gua malah jadi makin ketergantungan sama dia."
Dari ujung mata gue, gue bisa liat ekspresi Brian berubah, pegangan ke setirnya juga lebih erat.
"Gua begitu bukan maksudnya mau lo gak move on, Jae. Lo mesti tau betapa desperated-nya elo malem itu. Nyebut nama dia terus, nangis, nyanyi gak jelas. It was like you weren't yourself. Terus gua sebagai temen lo mesti diem aja gitu? Oke, sorry kalau solusi yang muncul di kepala gue cuma itu and sorry if it's actually a bad idea." Brian jelasin panjang-panjang, bikin gue nggak bisa jawab apa-apa. Niat dia emang baik sih. Gue juga jadi ngerasa bersalah ngomong begitu tadi.
"No, it's not. I was thankful."
"Even until now?"
"Yeah. Never regretted my decision to love her, though."
"Jae, Jae. Apa sih salah lu sampe diginiin amat sama cewek." Kata Danish sambil nepuk bahu gue pelan, "Erginn deh yok."
"Ntar malem aja. Gua mau ke gereja dulu."
"Hebat lu emang."
"Malah gua lagi payah banget, Nish. Makanya mesti ke gereja." Kata gue sambil berusaha ketawa.
Brian lalu nepuk punggung gue pelan, "Gue temenin, Jae."
Ya, sejelek-jeleknya nasib percintaan gue, seenggaknya gue punya temen-temen yang baik. Sangat baik.
---
Ada seorang suster yang selalu mau dengerin apapun cerita gue di gereja tempat gue berdoa setiap gue lagi di Bandung. Dia tau semua kebiasaan gue. Dia tau semua masalah gue. Termasuk soal Syira.
Gue cerita soal Syira ke dia mulai dari gue baru mulai naksir Syira, sampai yang terakhir yaitu ketika gue makan siang sama Syira setelah sidangnya selesai. Secara otomatis, gue harus cerita soal betapa sakitnya hati gue hari ini ke dia.
"Oh, dia nggak datang hari ini Jeremy."
Damn. Like, damn. Kenapa semua orang yang gue butuhkan menghilang hari ini—kecuali Brian.
Gue cuma bisa ngangguk dan duduk dengan lesu di kursi terdepan bareng Brian.
"Aren't I the unluckiest person today..." Gue terkekeh pelan dan Brian langsung menggeleng.
![](https://img.wattpad.com/cover/74567352-288-k537725.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
for: s
Romancecuriosity made us meet with each other it was just a pure curiosity she was sure; as much as i was but, life sometimes don't agree with our wishes so that it does some cruelty like letting us know that we got something special in between when we kno...