bad day

3.3K 440 46
                                    

April 2017

"It's not like I'm going out for some inappropriate stuffs. Stop drawing boundaries around me. I've told you I despise it."

Itu kata-kata terakhir Syira sebelum kemudian ngelempar hp-nya pelan ke meja di ruang tamu dan nutup seluruh wajahnya dengan tangannya yang kecil.

Sebelum sibuk sama percakapan yang kedengarannya memancing emosi itu, Syira lagi di kamar gue, berusaha keras ngawasin setiap kata yang gue ketik untuk skripsi gue, mengantisipasi adanya kesalahan bahasa atau salah ketik. Termasuk ngajarin gue bahasa Indonesia dasar yang gue beneran gak inget ternyata pernah gue pelajari waktu SD—ya gimana ya, kata nyokap gue aja nilai bahasa Indonesia gue dulu gak pernah jauh dari angka 6 dan 7. Bahasa Indonesia yang gue inget cuma bahasa pergaulan.

Ekspresinya waktu ngajarin gue masih keliatan bahagia, meski gue tau dia agak frustrasi. Tapi pas nerima telepon itu, wajahnya langsung berubah muram.

Tadinya gue gak mau ikut campur, tapi rasanya ngebiarin seseorang pusing sendiri sama masalahnya bukan suatu hal yang baik buat dilakukan, maka dari itu gue mutusin buat duduk di sebelahnya dan nanya dengan hati-hati.

"Ada apa, Syir?"

"Hah?" Dia keliatan kaget sama kemunculan gue yang sedikit tiba-tiba, "Enggak. Gakpapa."

"Nggak mau cerita?"

"Nggak... gak perlu."

"Well, if it's that private then I can't push you to, but it might hurt less if you tell someone else about your problem."

Setelah gue berkata begitu, dia pun keliatan mikir, sesekali dia menghela napas dan bikin gue makin yakin kalau masalahnya ini agak berat.

"Mau cerita? Lo anggap gue tembok juga gakpapa kok asal lo bisa ngerasa lebih lega. Habis lo kayak sesak gitu sih."

Dia ketawa kecil, "Gue sesak karena disini bau baju kotor cowok, tau gak."

"... yah, kan udah masuk kantong laundry semua, Syir."

Tangan kecilnya tau-tau mendarat di lengan gue, mungkin dia niat mau ninju, tapi gak berasa apa-apa di gue, jadi namanya apa ya?

"Bercanda kok." Syira mulai senyum, tapi tetap aja matanya keliatan sedih, bahkan agak berkaca-kaca. "Gue sayang banget sama cowok gue ini, Jae."

Duh, baru mulai aja udah bikin hati gue perih. Jadi agak menyesal nawarin jasa mendengar curhat. Tapi yaudah lah, demi Syira gak sedih lagi.

"Tapi gue kadang bingung, dia ini sayang sama gue atau hanya sekedar posesif sama gue. Dulu masih bisa dimaklumi, tapi sekarang posesifnya makin jadi."

"Emang dia gimana?"

Syira nunduk, sesekali curi pandang ke layar hpnya, ada foto siluet dari back profile seseorang yang gue asumsikan sebagai cowoknya.

"Makin kesini, gue makin gak boleh pergi tanpa bilang-bilang dia. Tiap ketahuan pasti gue dimarahin. Padahal dia sendiri juga sibuk terus sama kerjaannya, dia mau gue di rumah doang nunggu dia ajak gue pergi gitu?"

Ngeselin juga nih cowok. "Loh, dia kan bukan suami lo? Kenapa begitu?"

"I don't know. Gue tau sih dia cuma takut..."

"Takut kenapa?"

"Setahun yang lalu dia pernah nyoba ramalan tarot, dan katanya, di tahun ini gue kemungkinan bakal ninggalin dia." Syira tau-tau tersenyum, but bitterly.

"Terus dia percaya gitu? It's bullshit, though."

"Some people are just afraid of the future, and he's one of them."

for: sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang