t i g a

120 26 10
                                    

Mahasiswa bertubuh tegap dan bermata elang itu mulai berjalan masuk ke dalam kampusnya. Melewati beberapa koridor yang dipenuhi mahasiswi-mahasiswi yang menatapnya dengan tatapan memuja. Tapi Edgar tidak peduli. Ia lewat begitu saja tanpa sedikitpun melirik ke arah mereka terutama segerombolan cewek yang duduk dikursi bawah tangga. Mahasiswi cabe-cabean yang tidak tahu malu.

Di ujung koridor, dia menghampiri curut-curut kesayangannya. Siapa lagi kalau bukan Fandi dan Yandi?

Edgar mempercepat langkagnya dan menghamipiri para curutnya. Dia sudah-sangat amat-resah dengan kelakuan mahasiswi cabe-cabean itu. Tadi, saat Edgar melewati mereka sang ketua geng tersebut berdiri dari duduknya dan menatap Edgar dengan pandangan bitchy. Dagu tak beraturan yang dinaikkan ke atas, polesan yang sangat menor seperti tante-tante kesepian membuat Edgar bergidik ngeri. Ditambah dengan menggulung ujung rambut warna-warni dengan jari telunjuk. Tidak menarik sama sekali.

"Kantin yok, bro!" Ajak Edgar pada Yandi dan Fandi.

Langsung saja Yandi menoyor kepala Edgar tanpa permisi. "Palelu kantin! Pagi ini jamnya si jenggot, lo mau ditambahin lagi essaynya? Yang kemaren aja belum tentu kelar."

Si jenggot adalah panggilan kesayangan yanh dibuat Edgar untuk dosen berjenggot lebat bak Rhoma Irama. Terlebih, sebelum mengajar biasanya dosen itu sering menyanyikan lagu-lagu milik Rhoma Irama. Panggilan itu akhirnya menyebar luas dan bukan anak-anak jurusan hukum saja yang memakainya. Hampir satu kampus memanggilnya begitu.

Edgar menepuk jidatnya pelan sambil berujar, "Oh iya! Untung gue udah ngerjain itu essay. Yuk ah, ke kelas. Lo mau entar disemprot lagi?"

"Ini udah telat sepuluh menit bego!" Kata Fandi geram.

Tanpa aba-aba, mereka bertiga segera menuju kelas yang jaraknya lumayan jauh. Hanya berlari saja yang menjadi pilihan terbaik mereka saat ini. Lima menit kemudian, mereka sampai di ambang pintu.

Terlihat dari kaca kecil di atas pintu, si jenggot sedang berkacak pinggang dan menyapu pandangan ke arah bangku Edgar, Fandi dan Yandi. Sepertinya dia sedang menanyakan keberadaan mereka.

"Permisi, Pak. Maaf kami telat. Tadi di jalan banyak halangannya. Yang pertama, ada kucing lahiran terus tadi ketemu jablai kurang belaian pas di depan gerbang jadi-," ucapan polos Edgar segera dipotong oleh Pak jenggot.

"Cukup! Saya nggak butuh penjelasan kamu. Lebih baik tadi kalian telat saja sampai jam saya habis. Capek saya ladenin kalian."

Lagi, dengan tampang tak berdosa Edgar menyaut ucapan dosennya. "Ya udah, kalau Bapak udah capek dan nggak butuh penjelasan saya, kita udahan aja. Saya ikhlas kok."

Sontak, semuanya terbahak. Jawaban Edgar yang kelewat frontal membuat Pak jenggot mengelus-elus dada.

"Diam! Tidak ada yang menyuruh kalian tertawa. Tidak ada yang lucu sama sekali," bentak Pak jenggot dan membuat seisi kelas terdiam-meski masih ada yang terkikik.

"Kalian belum lulus saja sudah terlambat. Gimana kalau nanti udah jadi pengacara beneran dan telat mengikuti sidang? Gimana nasib client kalian? Kalian kira sidang itu hal sepele? Tidak ada toleransi untuk keterlambatan," ceramah dosen itu dengan nada prihatin didalamnya. Mendengar itu, mereka hanya bisa menundukkan kepala seperti merasa bersalah.

"Sungguh teganya teganya teganyaaa..."

Lantunan itu kembali membuat tawa seisi ruangan pecah. Suara yang tidak ada merdunya sama sekali, namun tetap dikeluarkan dengan keras macam toa.

***

Usai jam kampus selesai, Edgar tidak langsung pulang. Dia melajukan motornya ke sebuah danau yang sepi dan tenang. Tak butuh waktu lama, Edgar sampai ke tempat tujuan. Dia menepikan motornya dan duduk di atas rerumputan.

Pandangannya menerawang jauh. Menatap danau tenang di depannya dengan kosong. Batu-batu yang dikumpulkan tadi, dilemparkan ke dalam danau. Edgar ke sini untuk menenangkan diri dan mengosongkan pikirannya sementara. Terlalu sumpek dengan tugas kuliah mengingat beberapa bulan lagi dia akan wisuda.

"Udah hampir enam tahun kamu pergi, Na. Pergi tanpa ada ucapan selamat tinggal. Pergi meninggalkan banyak kenangan manis dan pahit buat aku. Pergi membawa seutuhnya hati aku," Edgar berkata pada dirinya sendiri sambil sesekali tertawa hambar.

Tanpa diperintah, sesak itu menyeruak lagi. Sesal itu datang lagi. Sakit itu menggerogoti lagi. Dan luka itu menganga lagi. Rasa yang telah lama tidak ia rasakan kini hinggap lagi.

"Udah enam tahun dan sebentar lagi aku bakal wisuda. Jadi pengacara. Kamu di sana apa kabarnya?" Ucap Edgar parau. Disetiap kata yang ia ucapkan bagai ada luka gores yang membuat kata itu terasa sakit bila terucap.

Setetes air mata jatuh dengan bebasnya. Air mata penantian yang selama ini ia tahan agar tidak jatuh. Namun, hari ini segala pertahanannya runtuh. Setelah memendam selama enam tahun lamanya.

Lagi, kerikil itu ia lempar dengan jauh. Datang ke sini, bukannya meringankan malah makin menambah beban. Maka dari itu, Edgar memutuskan untuk pulang. Berdiam diri di kamar mungkin itu akan lebih baik.

Motornya kini melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu kota pada sore hari. Edgar sengaja tidak melajukan motornya dengan cepat karena cuaca hari ini sedang bagus. Sesekali Edgar memejamkan matanya sebentar agar rasa tenang itu makin terasa.

Namun seolah tidak rela membiarkan Edgar tenang walau hanya sebentar, motor Edgar berhenti di sebuah kedao es krim. Kedai yang menjadi saksi atas penyampaian rasa kepada seseorang yang ia cintai. Kedai yang sangat bersejarah baginya. Biarpun ditolak, namun perasaan itu tak kurang sedikitpun.

Tak ingin rasa itu menyeruak lagi, Edgar melajukan motornya dengan cepat. Tak peduli dengan suara hati yang memintanya untuk tetap tinggal.













Quote : Bisakah kau kembali? Mengukir sebuah kisah baru hingga bertemu akhir.





























A.N :

yash , gue double update ! jangan lupa vomments ya ;)

















Writed : Thursday, 30th June 2016
Published : Thursday, 30th June 2016
SilviaAngela~
















My Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang